Kamis, 05 April 2012

Negla, I'm in Love (part one)

Another story from Gerakan UI Mengajar, 1st Batch
Episode: Kami merindukan..

Kerinduan akan masa lalu itu semu, kata seorang pengarang. Toh masa lalu itu hanya bersemayam di ingatanmu, bukan? Mereka tak nyata, tambahnya.
Tapi, kerinduan kali ini begitu nyata. Setidaknya saat aku mengalami waktu-waktu sulit dan kusadari aku pernah mengalami waktu-waktu yang begitu menyenangkan.
Dan kala tumpukan buku diktat, deadline seminar dan soal-soal ujian erat menghimpit serabut-serabut syaraf di otak, kerinduan ini semakin menjadi-jadi. 

Ya, ketika polifonik ‘fa-sol-si-do’ ponselku tiba-tiba berdenting.

Pesan masuk. 

Dari mereka, sekian lama setelah pesan terakhirku pada mereka sebulan yang lalu.

Melihat titik sebagai pengganti spasi, susunan kata yang aneh, dan tanda tanya yang selalu digunakan di akhir kalimat alih-alih titik, tanpa membaca pengirimnya pun bisa kutebak itu Sendi. Bocah hitam manis, peringkat dua di kelas semester kemarin. 
Biasanya, di pesan-pesan sebelumnya, setelah membaca, di benakku lalu tergambar senyum dan aroma tubuh mereka. 

Namun kali ini berbeda.

Bagai film, potongan-potongan memori itu berlarian di benak. Diiringi instrumentalia ‘Tarn of Tralee’ entah darimana asal bunyinya, yang tiba-tiba mengalun lembut di telingaku…

Menghadapi tiga belas pandangan polos, sosokku terbata-bata memperkenalkan diri dengan bahasa Sunda di depan kelas. Dan anak-anak yang bertawa-tawa itu kecil melihat kekikukanku. Seharian, aku pusing mendengar ribuan kata-kata terucap dari mulut mereka, yang berbeda dengan bahasa Sunda yang dulu pernah kupelajari ketika SD. Percakapan mereka, terdengar seperti percakapan alien di telingaku.
Potongan memori berlari makin cepat.

Mereka, dan aku, yang main gobak sodor dalam kelas, menyingkirkan meja-meja dan kursi-kursi, alih-alih pelajaran SBK dan Pengembangan Diri. “Hari ini belajar pengembangan jasmani saja ya!”, seruku, lalu tertawa berlari memasuki arena tanding.
Makin cepat.

Mata dan mulut mereka yang bulat membesar melihat magnet dan lup yang kubawa, yang kuperagakan dengan mereka di lapangan sekolah saat istirahat, yang menggelitik anak-anak kelas lain untuk berubung mengikuti pelajaran IPA kami. Ikut-ikutan mencari benda-benda logam, lalu sibuk mencari pensil untuk menggores-gores kertas supaya menghitam
Euleuh, kertasna tiasa kebakar!” seru seorang anak kelas 4 sambil memegang lup yang fokusnya diarahkan pada kertas hitam yang telah ia gores-gores pensil tadi.
Berkelebat.

Baju batikku yang basah keringat. Jumat ialah hari rutin olahraga bersama dan aku tak punya baju khusus untuk mengajar olahraga, kaus katun misalnya. Ah, biarlah. Berkeringat di lapangan penuh barisan anak-anak, menghadap bebukitan, menghirup segar udara pagi, menyerap vitamin D matahari, menyenangkan!
“Di rumah senang, di sekolah senang, dimana-mana hatiku senang! Tangan dilambai-lambai, kaki ditendang-tendang, pinggul digoyang-goyang, balik kanan!”
Cepat.


Secarik kertas lusuh diantara serpihan dan debu kapur yang tergeletak di meja guru (ah, mejaku saat itu) yang membuatku tersipu-sipu sepanjang hari.
Lekas.

HVS dan kertas origami segiempat warna-warni yang mereka bentuk jadi bintang, dan mereka tuliskan cita-cita mereka disana lalu mereka tempelkan setinggi-tingginya dinding belakang kelas yang dapat kaki mereka serta dua tumpuk meja capai.
”Biar nteu’ diambil jeung anak kelas enam, bu”, ujar mereka ketika aku panik memegangi kaki-kaki meja yang mulai bergoyang  tak kuat menopang mereka. Ah, jika saja tubuhku masih seringan mereka, sudah kususul mereka naik ke meja tumpuk tiga sekaligus!
Stagnan.

Kurasakan baju panjangku mulai basah sekujur punggung. Telah seharian ini aku berkicau menerangkan pembagian, dan kudapati seorang anak yang menerawang langit-langit kelas, menatapku nanar, lalu menggeleng ketika kutanyakan hasil dari dua bagi dua!
Dan..melambat..

Pecahan dan pembagian, lagi. Dan kuhampiri meja mereka satu persatu untuk menerangkan jeruk yang terbagi empat, baju di toko yang bertuliskan diskon 75% besar-besar dan Garut-Jakarta yang berjarak 40,5 km jauhnya. Meja sebelah ribut saling tertawa, aku menoleh, tersenyum, “Ulah berisik, nya. Hayu atuh dikerjakan soal-soalnya”, ujarku. Mereka nyengir lalu sikut-sikutan.
Kuhela nafas.
.
Pelan.
.
Tiga anak didepanku ini menggores-gores angka di papan tulis di depan wajah mereka. Pelan menulis, dipandang sebentar, dan dihapus lagi, begitu berulang sejak sepuluh menit yang lalu. Yang tidak terhapus hanyalah tiga angka yang diatasnya digambar garis seperti atap sebelah rumah. Hari ini pembagian lagi, dengan sistem bagi ‘genteng’.
Teu tiasa ngerjakeun? Kenapa atuh tadi tidak memperhatikan waktu ibu menjelaskan?”. Seisi kelas hening. Aku meremas penghapus papan tulis, gemas.
.
Berhenti.
.
.
Berhenti.

Anak-anak perempuan terisak dengan wajah merah, dan sebagian besar pula yang lelaki. Sisanya menunduk dalam-dalam.
Aku? Sudah sedari tadi wajahku memerah, dan air mata..ah rasanya tidak ada lagi bagian dari wajahku yang tidak basah. Lewat mata yang mengabur karena enggan menghapus air yang menggenang di kelopaknya, aku memandangi seantero kelas.
“Bagaimana rasanya kalau kalian nggak lulus sekolah hanya gara-gara pembagian? Soal ujian pun ibu rasa nggak ada yang benar-benar cuma ditulis 300: 25. Kalian yakin bisa naik ke kelas 6? Yakin?” Suara itu keluar pelan dan terbata-bata karena sesungukan.
“Ibu nggak pernah nggak sayang sama kalian. Ibu cengeng makanya ibu ingin kalian lebih kuat dan lebih pintar dari ibu”.
Aku diam, hanya suara sesungukan yang terdengar.
Pemicunya ialah lelah, seminggu ini penuh matematika dan belum ada perubahan berarti. Ditambah pula sikap mereka yang mulai acuh pada pelajaran. Puncaknya ialah ketika kemarin aku enggan untuk mengajar satu pelajaran dan kuminta guru lain menggantikanku. Kepalaku pusing dan aku teramat lelah. Sebenarnya tak ingin aku melewatkan satu pun detik tak bersama mereka, terlebih di hari-hari terakhir ini.
Lalu hari itu kumasuki kelas, kujelaskan lagi pembagian yang telah seminggu ini kusampaikan. Kuhampiri seluruh meja dan kujelaskan lagi.
Aku tak tersenyum.
Kuberi soal sama persis dengan soal-soal sebelumnya. Kuhampiri lagi. Kuminta beberapa anak untuk maju mengerjakan soal di depan. Tak ada yang mau, menolak karena tidak bisa. Kujelaskan lagi soal itu satu persatu. Pelan, mendetail, sejelas mungkin.
Suaraku mulai meninggi.
Kuberi keterangan awan di setiap tahap pengerjaannya, kutekankan untuk disertakan dan ditulis di buka catatan mereka.
Tos ngartos, sadayana?” Aku berbalik dari papan tulis,  suaraku mulai bergetar, wajahku memanas, meski telah istighfar berkali-kali tetap saja dadaku sesak. Lelah.
Aku menatap seorang anak lelaki dan ia segera menunduk. Pandangannya tadi seolah berkata,
“Ini bukan bu guru yang biasanya..”
Lalu satu anak perempuan menelungkupkan wajah, terisak. Dua lainnya bahkan sepertinya sudah menangis ketika aku membelakangi mereka menulis awan-awan keterangan di papan tulis. Para lelaki terdiam, menunduk. Dan pertahanan airmataku jebol.
“Ibu nggak pernah nggak sayang sama kalian. Ibu cengeng makanya ibu ingin kalian lebih kuat dan lebih pintar dari ibu…”
Film memori kembali berpacu cepat

Bungkusan pensil, buku tulis, pulpen, hadiah atas keberhasilan mereka atas nilai-nilai dan sikap baik yang ditunjukkan kepadaku selama ini. Lipatan origami dan surat yang mereka hadiahkan kepadaku. Aku dan mereka telah saling tertawa lagi.
Cepat. Kali ini, backsound-nya ialah instrumentalia Emerald Forest.

Hari perpisahan. Kami, segenap guru pengganti berpamitan di sekolah. Bernyanyi, berpuisi, beatle yell-dance, tertawa, kepanasan, mandi keringat.
Cepat.

Setelah istirahat di hari perpisahan itu, aku mampir masuk kelas, menyapa mereka, mengucapkan salam perpisahan secara pribadi pada mereka.
“ Aya nu bade disampaikeun ka ibu, teu?”
Sepi.
“ Mungkin...ibu ada salah ke kalian, eh, pasti nu loba pisan, nya? Hahaha”
Diam.
“ Maafin ya, selama ini ibu ngajarnya nggak enak, susah dimengerti, cengeng lagi. Tapi ibu sayang lhoo, sama kalian. Ntar jangan lupa SMSan sama ibu ya. Eh tapi jangan sering-sering, ibu teh sering nggak punya pulsa”
Aku tertawa. Tapi anak-anak perempuan malah mulai menangis lagi.
“ Eeeh..”
Well, manabisa aku nggak nangis (lagi) di situasi seperti ini?
Kupeluk mereka satu-persatu, setidaknya untuk kasus haru seperti ini, syaraf ‘geli’-ku tidak hiper-respon seperti biasanya.
Mengingat-ingat aroma tubuh mereka, dan kelas ini. Bau keringat, bau matahari, bau apek debu, bau amis lantai sehabis di-pel, bau serbuk kapur, bau kusam tumpukan buku-buku lecek di lemari reot sudut kelas. Bau yang amat tidak menyenangkan, tapi kurindukan..

Lalu sepanjang perjalanan kembali ke Depok, hingga sekarang, masih kuterima pesan-pesan mereka. Tentang betapa mereka akan sangat merindukanku, betapa enaknya caraku mengajar, betapa sepinya kelas tanpaku dan betapa mereka merasa bersalah karena tidak menguasai pembagian. Ini nih salah satu yang kusesalkan, timing yang tak tepat, antiklimaks. Mereka hanya sedang terluka sehingga respon mereka berlebihan seperti ini.

Aaah, berbuncah keinginan untuk melompat dan menyelam ke dasar memori (seperti yang kami para guru pengganti *wink* lakukan rutin tiap akhir minggu pada sungai berbatu-batu favorit kami, Indiana Jones) jadi aku bisa mundur mendera waktu. Aku ingin kembali kesana! Kesana!

Untuk apa? Sekedar melepas rindu? Menggantikan guru disana secara permanen? Bah, baru sebulan mengajar kelas lima SD yang isinya cuma tigabelas, sudah berlagak Ibu Mus di Laskar Pelangi, kau Sekar?

Ahaha, atau..cukup untuk mengajar bahasa Indonesia, mungkin. Akan kuajarkan mereka penggunaan tanda baca yang baik, pemisahan kata yang benar, penyusunan kalimat yang indah, kalau perlu, ejaan yang disempurnakan, yang tak sempat kuajarkan dulu.

Agar setidaknya, bahasa dan tulisan sms mereka yang tadi bisa lebih indah dibaca, menjadi:
“Ibu guru sedang apa? Kami merindukan ibu..”, oh ataukah dibaca..
“Ibu guru sedang apa? Apakah ibu guru merindukan kami?”

Oh yes, I’m sobbing now.

Depok, tengah malam, besoknya UTS, April 2012

Senin, 24 Oktober 2011

Soundscape Hujan Hari Minggu


For my beloved broken-hearted friend(s)

When you get caught in the rain with nowhere to run 
When you’re distraught and in pain without anyone
We keep prayin’ to saved but nobody comes 
And you feel so far away that you just can’t find your way home 
You can get there alone 
It’s okay 
What you say *

Langit mendung. Kelabu tua. Suram. Udara sejuk membawa aroma air yang mulai mengambang melingkupi kota kecil ini. Orang-orang mulai mempercepat langkah kaki dan guliran kendaraan mereka. Khawatir air hujan datang menderas tiba-tiba dan membasahi baju kesayangan mereka. Kalbu-kalbu yang telah gersang terlampau lama.

Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela. **

Tak lama gerimis menggaris. Perlahan titik kecil jejaknya di trotoar membiak. Tak menyisakan warna kelabu kusam, trotoar berdebu ini diwarnai menjadi hitam berkilau oleh pewarna langit. Kemudian garis gerimis merapat, membuat pandanganku ke arah halte seberang memburam hingga aku tak bisa lagi melihat anak kecil kucal penjual koran itu. Ia yang tadinya tersandar mengantuk di pilar halte serta merta bangun karena tampias gerimis. Lalu terpengkur memandang titik-titik air. Bagaimana aku bisa menjual koran-koran hingga habis hari ini?, begitu mungkin pikirnya sambil memeluk tumpukan koran yang sepagi ini baru memberikan sekeping kecil seribuan, yang tadinya terselip di dompetku. Ia mencoba menghangatkan diri dari dingin, dan dari pikiran akan ibunya yang tengah sakit.

Ada gadis kecil diseberangkan gerimis
di tangan kanannya bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan tangis
di pinggir padang, ada pohon
dan seekor burung… ***

Taken from Anismanshur.wordpress.com


Kau ingat anak itu? Ah, sepertinya tidak. Ia hanya sekelebat sosok yang entah masuk ke folder terbuang mana dalam memorimu, yang telah sesak oleh bergiga dokumen yang lebih menarik untuk di klik dua kali olehmu. Anak itu, seperti pula aku.

Ada sekeping bulan singgah di hatimu

Memaksaku untuk melakukan hal yang sama untuk folder yang berisi memori tentangmu.

Dan hati merasa letih
Pada lusuhnya sepotong ingatan

Aku masih duduk di bangku semen halte ini, yang kini sesak dipenuhi manusia kehujanan yang memarkirkan motor seenaknya di depan halte. Menghalangi titik hujan jatuh langsung ke selokan itu.
Aku masih duduk di bangku semen halte ini. Sejak udara masih meranggas panas dan hingga kini air langit ini tak lagi gerimis. Ia telah menjelma jubah peri hujan yang meniupkan dingin.

And when the wind moves and shadows grow close
Don’t be afraid
There’s nothing you can’t face and sure they tell you
You’ll never pull through*

Aku masih duduk di halte ini. Dimana kau pernah bagikan kisah hidupmu padaku, dan kubagikan pula kisahku padamu. Juga saat hujan, yang seolah dengan genit menggoda kita untuk tertahan lebih lama di halte ini karena hadirnya. Menikmatinya berdua.

Don’t hesitate
Stay calm and sane *

Oke, sudah waktunya. Aku berdiri, yang dengan segera bekas dudukku direbut oleh wanita muda yang sedari tadi memang mengincarnya. Kuaduk tas-ku dan kuraih sebentuk payung lalu kukembangkan. Lantas dengan perlahan memutar gagangnya, aku memulai langkah pertama. Satu. Kubuat percikan air dengan langkah kakiku. Di tengah hujan, aku merasa menjelma malaikat, dan sayapku mengembang putih. Empat, lima, enam. Namun kurasakan bulu-bulunya merapuh. Satu ayunan langkah, satu bulu melayang lepas, satu kepingan dirimu yang kujatuhkan ke belakang. Dua, tiga, empat.

Step fastly and you’ll find what you need
To prepare
What you say *

Aku menyeberangi jalan. Menuju halte seberang tempat gadis kecil tadi itu memeluk koran-koran dan mimpi-mimpinya. Lalu kupindahkan gagang payung dari tanganku ke tangan mungilnya, tak perlu berkata-kata banyak kiranya. Selamat berjuang untuk hari ini dan kutitipkan salam untuk ibunya.
Hujan stagnan, tak menderas maupun mereda, rasanya ini adalah hujan terlama di musim ini. Kuremas ujung baju panjangku. Kutatap depan dan dengan mantap kuambil langkah pertama lagi keluar dari naungan halte itu. Tak berpayung. 

I can make it through the rain 
I can stand up once again 
On my own and I know 
That I’m strong enough to mend *

Aku tak peduli akan tatapan heran manusia-manusia lain terhadapku kala itu. Jika mereka berlarian menghindari hujan, aku justru akan menyongsongnya dan bergelung dalam dinginnya. Dingin hujan adalah hangat bagi hatiku.
Aku tak peduli bila seluruh kain yang menutup tubuhku rapat hanya menyisakan wajah dan tangan hingga pergelangannya, nanti akan kuyup. Justru karena cinta dari pemberi aturan akan kain inilah sudah selayaknya aku melupakanmu. Entah sementara ataupun selamanya.

And every time I feel afraid 
I hold tighter to my faith 
And I live one more day 
And I make it through the rain *

Adakah yang lebih mengajari irama ketukan luka hati selain gerimis sore hari yang semakin mengabur? Sedikit ke kiri. Buat lompatan lebar. Ada beberapa hal yang memang sebaiknya dielakkan. Seperti genangan air di depan. Atau tentangmu. Bukankah pernah kukatakan, hidup ini adalah birama. Maka gambarkan saja tangga nada dan kita berloncatan di antaranya. 

Melupakanmu senyata embus angin
Tersisih
Secara sembunyi diantara kelopak dan sari bunga lonceng musim semi
Ada yang jatuh di hijau rumput
Dan beberapa masih bergelayut di ujung tangkai

Langkahku berirama. Mengambil nada. Berkecipak mengganggu rintik hujan pada genangan. Mengguncang-guncang sayap di punggungku, makin merontokkan bulu-bulunya. Dua puluh, dua satu, dua sembilan. Ah, hitunganku kacau. Namun terasa sekali kepingan dirimu beterbangan pula semakin banyak. Puzzle yang justru tak ingin kuselesaikan. Melayang pelan lalu turun ke genangan air dibelakangku. Sayapku kini tinggal kerangka, meranggas, mengering hitam lalu pyaaas! Melebur debu. Dan keping terbesarmu benar-benar terburai ke udara. Aku tak tertawa, meski rasanya dadaku lega luar biasa. Aku tak mengaduh, meski ada sakit yang ditinggalkan. Aku tersenyum. Cukup kiranya. 

Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan **

Kita tak pernah saling menyentuh, hanya mungkin hatiku yang kurasakan seakan terpaut padamu. Tak perlu kau jawab apakah hatimu terpaut pula padaku karena aku takkan pernah tergelitik lagi untuk menanyakannya padamu. Kurentangkan tangan mencoba memeluk hujan. Aku tak gila. Aku hanya tergila-gila pada hujan. Dan mungkin dulu hujan adalah representasiku untukmu. Dulu. Bagiku hujan adalah soundscape, tokoh yang begitu dekat denganku, yang begitu ku kenal suaranya, yang begitu menarik tingkah polahnya, dan yang begitu tulus cintanya, pada tanah.
Garis hujan menipis. Kucoba berlari, tapi lalu aku terkikik. Rok ini takkan mengizinkanku untuk berlaku tak anggun lagi, maka kumelodikan lagi saja langkahku. Dan aku tak ingin lagi jadi malaikat, atau peri hujan. Cukup menjadi gadis pengagum gerimis. Karena kusadari akhirnya, cinta pada hujan takkan pernah menjadi selamanya.

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu ****






Disclaimer: Karya ini dibuat dengan mencampurkan begitu banyak materi dan sumber, terkesan sesak dan berantakan ya? Haha. Gaya penceritaan saya contek dari salah satu karya Meliana Indie Zhong dalam situs kampungfiksi.com, beberapa pula saya selipkan kata-kata yang sama dari karya, hingga mungkin jika anda membaca karyanya, akan terkesan sekali saya menjiplak karyanya. Hahaha, saya hanya sedang belajar menghasilkan sesuatu yang indah. Mohon maaf. Potongan-potongan puisi dan lirik lagu yang saya gunakan dalam tulisan ini juga saya nukil dari banyak sumber, dan saya tandai dengan membintanginya di tiap akhir bait dalam paragraf. Ah. Lebih tepatnya, seluruh puisi berbintang dalam tulisan ini ialah karya Sapardi Djoko Damono, yang karya-karyanya memang mencipta binar-binar bintang pada dada ketika membacanya. Haha. Dan  yang tak berbintang ialah nukilan yang telah benar-benar saya lupa judul dan pengarangnya karena tersimpan begitu saja dalam otak karena keindahannya atau karya saya sendiri. Maaf sekali lagi. Setidaknya untuk seluruh yang saya contek, kutip dan nukil, telah dengan sebaik mungkin saya usahakan untuk mencantumkan sumbernya.

*Lyrics from song Through the Rain by Mariah Carey
**Sihir Hujan-Sapardi Djoko Damono
***Gadis Kecil-Sapardi Djoko Damono
****Hujan Bulan Juni-Sapardi Djoko Damono

Rabu, 13 Juli 2011

Kawaiii YUI ^^


Sudah lama tidak posting. 
Dan kali ini saya mau posting sesuatu yang sedikit berbeda. Haha
Akhir-akhir ini, saya lagi suka sama seseorang. Eww… Jangan cemburu dulu, karena dia perempuan. Jangan juga berprasangka dulu, karena bukan ‘suka’ yang begituu..tapi yang beginii.. ahaha *mulai tidak jelas.

Saya suka sama YUI.



YUI?
Yup! YUI.
YUI yang penyanyi dari Jepang itu? Waah..ketinggalan jaman banget lu!
Haha, emang!

Sebenernya saya tahu YUI udah sejak lama. SMA mungkin. Pernah denger dan pernah liat list MP3 yang ada YUI-YUI’nya. Tapi waktu itu, selain sama komik dan anime, saya belum tertalu suka sama hiburan dari Jepang dalam bentuk lain (atau mungkin lebih tepatnya, negara Jepang itu sendiri). Alasan:

1.      Jepang pernah ngejajah Indonesia, yang biarpun cuma 3,5 tahun, tapi (kata buku sejarah) bikin Indonesia lebih menderita daripada waktu dijajah 350 tahun sama Belanda. Wuiih! Sadis kan? Haha, ini alasan kekanakan banget ya?

2.       Hiburan Jepang lain yang saya kenal ketika itu ialah: musik dan film. Musik Jepang yang sering saya denger yaa..soundtrack-soundtrack dari anime, yang kala itu suara penyanyinya terdengar amat aneh di telinga. Kalau yang perempuan, pasti suaranya menye-menye, kekanakan, cenderung cempreng. Kalu yang lelaki, terlalu mendayu-dayu, kebanyakan vibra yang ngga perlu. Tapi maaf saya ngga terlalu inget lagu apa yang sering saya denger waktu itu, jadi ngga bisa ngasih contoh spesifik. Yang jelas soundtrack anime, lah. Yang jelas, pelafalan bahasa Jepang di telinga saya ketika itu kedengarannya amat aneh dan lucu! Film. Waaah, sebelum heboh si Miyabi pun, film Jepang udah terkenal dengan ‘biru’-nya kan? Untuk yang satu ini, saya nggak mau ngebahas lebih jauh ah. =P
3.  Teknologi Jepang canggih banget! Saya yang orang Indonesia tulen jadi iriiiiiiiii. Hah! *alasan yang tak logis -,-

Yup, cuma tiga itu. Tapi lumayan bikin saya ngga tertarik lebih jauh lagi dengan Jepang. 

Oia, ayah saya juga punya satu set kaset dan buku, buat latihan penulisan huruf-huruf Jepang dan pelafalannya. Saya cuma suka sama gambar-gambarnya aja waktu itu. Tulisannya, bikin saya pusing. Entah kenapa, saya kalau ngelihat aksara-aksara macem itu, entah itu aksara jepang, Cina, Taiwan atau Korea, saya selalu ngerasa jengah. Nggak enak. Kayak ada semacam aura mistis, serasa masuk klenteng. Haha (dulu waktu kecil saya pernah diajak masuk klenteng sama tetangga saya yang orang keturunan, dan saya pusing nyium bau dupa, ngelihat patung-patung Buddha yang gendut-gendut dan aneh, ngedongak ngebandingin tinggi lilin-lilin merah yang tingginya hampir 2x lipat saya waktu itu). Satu set kaset dan buku itu? Kayaknya udah lama banget masuk gudang.

Dulu saya juga nggak bisa ngebedain sama sekali mana itu yang Jepang atau Cina atau Korea atau Taiwan. Pokoknya sama aja lah tulisan dan bentuk orangnya!
Aah.. lama-lama saya bisa melenceng jauh banget kalo ngomongin jepang di masa lalu saya. langsung ke si YUI aja yaa

YUI. Entah kenapa penulisan namanya harus kapital semua. Dan cuma YUI (aja), tanpa embel-embel marga seperti orang jepang kebanyakan. Di album, video clip dan film-nya pun, namanya nggak ditulis pake huruf Jepang (apa tuh namanya, hiragana, katakana, ato kanji ya? Tau ah). Just YUI. Bahkan di salah satu forum, saya baca komen dari seseorang yang meralat tulisan Yui jadi YUI. Haha entahlah.
Sejak kecil dia tinggal sama ibunya karena (konon) ayahnya ninggalin mereka berdua sejak YUI masih kecil, jadi YUI sama sekali nggak punya ingatan apa-apa tentang ayahnya. Ini juga yang (konon) jadi alasan YUI males pake nama marga keluarga ayahnya, Yoshioka. Tapi kalo search di Google, ngetik nama Yui Yoshioka, bakalan tetep aja keluar segala macem tentang YUI.
Bakalan terlalu lama kalo ngebahas biografi YUI, karena itu, search aja ya di Wikipedia. Nanya Oom Google juga, di pasti lebih tahu. Haha
Perkenalan yang ‘membekas’ sama YUI, dimulai ketika bimbel Perhimak UI berlangsung. Lagunya YUI yang Goodbye Days lagi nge-tren (lagi). Berkali-kali diputer sama beberapa panitia, sampe-sampe saya jadi agak hafal a-i-u-e-o liriknya (ngikutin beberapa kata doang, hihi). Terus sama seorang kawan, saya di kopi-in film Taiyo no Uta, Lagu untuk Matahari yang pemeran utamanya ialah YUI yang di film itu kena penyakit XP. Kata temen saya itu, “Filmnya bagus. Banget!”. Saya jadi heran, kok sampe sebegitu-nya ya, orang-orang suka sama YUI. Di film itu acting YUI biasa aja, ceritanya emang bagus sih, tapi akting YUI masih kaku.
Aku yang penasaran, searching deh di internet. All about YUI. Lalu yang pertama keluar ialah single terbaru YUI yang jadi soundtrack film Paradise Kiss yang diproduksi sama Warner Bross. Saya cari di video-nya dan saya dengerin lagunya.

Lalu, sepertinya sih saya mulai jatuh cinta sama YUI waktu ini. Haha

Lagunya (yang Hello) easy listening banget, dan disitu YUI cantik, lebih girly daripada di film Taiyo no Uta. Dan saya jadi mulai keranjingan nyari info tentang YUI, sampe ngubek-ubek situs YUI-indo, YUI-lover dan YUI-net, situs resmi YUI yang bahkan ada diary-nya (untuk dua situs terakhir, ngga bisa kuubek-ubek lebih jauh selain di home sama beberapa link-nya, alesannya: tulisannya kanji semua! Hrr)
Aah.. dan rasanya saya nggak menyesal tuh, jatuh cinta sama YUI. Banyak alesan yang bikin dia emang pantas jadi idola.

Pertama, dan yang terutama. Pakaian YUI selalu sopan. Ciri khasnya ialah: kaos, jeans, jaket dan sesekali rok. Itu pun nggak ketat kayak penyanyi penyanyi rock cewek yang suka pake jaket kulit dan celana skinny mengkilat. Hii. Rok yang ia pakai-pun minimal sepanjang sampai setengah betis. Tak pernah lebih keatas daripada itu, atau kayak rok-rok anak-anak SMA di Jepang kebanyakan. Pakaian YUI amat sopan untuk ukuran penyanyi Jepang seperti dia (penyanyi-penyanyi Jepang yang saya tahu, suka banget pakai baju cosplay aneh-aneh). Di film Taiyou no Uta dia selalu pakai baju lengan panjang dan celana jeans ¾ longgar (mungkin tuntutan skrip juga karena ia disana berperan sebagai orang yang nggak boleh sama sekali kena sinar matahari). Tapi nggak cuma di film, di live performance, video clip, dan segala macem tentang YUI yang saya tonton di YouTube, pakaian YUI selalu sopan. 

Sikap YUI juga selalu sopan. Di setiap live performance, yang dia lakukan pertamakali saat naik panggung ialah: membungkukkan badan. Cara orang Jepang untuk saling menghormati. Di sela-sela bernyanyi seringkali ia berujar, “Arigatou minna”, terimakasih semuanya. Di video yang saya tonton, saat wawancara di luar, atau bertemu penggemar-penggemarnya, YUI tak henti-hentinya membungkukkan badan. Ia benar-benar rendah hati.  Tanpa orang-orang yang selalu menyesaki bangku penonton di tiap penampilannya, tanpa orang-orang yang membeli album-albumnya. Tanpa orang-orang yang menyukai lagu, suara dan petikan gitarnya, ia bukanlah siapa-siapa. Begitu mungkin pikir YUI. Aiih..kawai YUI ^^


Kedua, ia selalu TOTAL! Suaranya lembut. Pertama kudengar sih biasa aja, ngga seseksi suara Jennifer Lopez, nggak pula se-powerfull suara Agnes Monika. Bahkan kalah lembut dengan suara Utada Hikaru yang lebih ngetop di Nihon sana. Suara YUI hanya lembut, tak lebih tak kurang. Namun pas nada. Suara YUI bisa menjangkau oktaf tinggi meski nanti suaranya jadi agak mendesah dan mukanya jadi berekspresi lucu. Merem-merem meringis. (Tapi dia tetep terlihat imut. Innocent face ^^). Meski begitu, hanya sekali ia lipsynch, itupun karena ia benar-benar sedang sakit. Penyanyi Indonesia? Wah.. mungkin bisa dihitung dengan jari berapa kali mereka nyanyi pake ‘suara asli’ =P 

Ketiga, YUI multi talented. Dia bisa main gitar, nyanyi, dan satu kali main film. Dan semua lagu-lagu yang ia nyanyikan ialah ciptaan ia sendiri. Sambil duduk bersila, memetik gitar, ia mencari inspirasi. Ia ngga menyusung suatu aliran dalam musiknya. Seringkali ia ciptakan lagu slow macam Tokyo, Goodbye Days, kadangkala ceria, misalnya Hello dan It’s My Life. Atau..mau dengar YUI yang lagi nge-rock? Denger aja lagu Rolling Star atau Rain! ^^. Oia, dia jug abisa main piano lho, silahkan lirik video dia di lagu To Mother deh ^^.

Menurut sebuah media, YUI ialah penyanyi yang cukup konsisten di Jepang sana. Meski beberapa kali vakum, ia tetap eksis, muncul dengan lagu-lagu ciptaannya yang apapun itu jenisnya, tetap easy listening.
Melihat YUI, saya merasakan sesuatu yang orisinil. Langka. Sesuatu yang ‘sebenarnya-lah ia’, tidak dibuat-buat. Makanya, tiga alasan saja sudah cukup membuat dia tesangkut di hati saya ^^. Tentang bagaimana konsistensi YUI terhadap musiknya, selera pakaiannya (yang akhir-akhir ini jadi lebih feminine ^^), ekspresinya, suara lembutnya, kesopanannya, dan ke-kakuan-nya dalam ber-akting.  Tanpa dibuat-buat. Ia tidak pernah berlebihan dalam berdandan. Ia benar-benar ‘pure’, murni.
Oia, satu hal yang unik, di kover album atau di banyak foto-fotonya, YUI jarang tersenyum. Alasannya sederhana, dan polos sekali: kalau tersenyum, ia jadi terlihat chubby. Haha. Padahal kau manis sekali saat tersenyum, YUI-chan.
Lalu iseng saya mendapatkan satu artikel, YUI yang dibandingkan dengan musisi gitaris wanita yang lain. Dalam artikel itu, dia dibanding-bandingkan dengan..jeng jeeeng! Avril Lavigne dan Prisa!
Ahh, mungkin YUI memang kalah tenar dan kalah kualitas suara dengan Avril, atau kalah skill memetik gitar dengan Prisa. Namun ya itu, YUI tetap juara di hati saya! Karena YUI murni menghibur orang dengan kelembutan suara dan keluwesannya bermain gitar. Tidak seperti mereka yang (menurut saya lhoo) juga jual bodi. Liat aja gimana cara berpakaian Avril atau cari aja foto-foto Prisa di internet, weleeh.. 
Prisa versi Suster Ngesot
Avril Lavigne

Satu lagi, suara YUI lebih keren daripada Prisa! Hahaha (subjektif saya aja ini lhoooo)

Yang jelas, saya menulis ini dalam keadaan sadar. Tidak sedang dipengaruhi oleh siapapun! Haha (yaa..meski saya nulisnya di malam menjelang pagi, agak-agak sleepy, tapi saya sepenuhnya sadar dengan apa yang saya tulis kok). Jadi jangan khawatir kalo saya sengaja di-suap YUI buat nulis yang baik-baik tentang dia. Hahaha, kurang kerjaan dan nggapenting banget! Siapa sih saya…

YUI-chan, tetaplah berkarya. Tetaplah jadi YUI yang orisinil ^^