Kamis, 23 September 2010

kau hempasan debu
kau percikan hujan
kau semilir angin
kupikir, tanpamu tak apa
tanpamu baik-baik saja
tanpamu semua biasa
namun, ada yang hilang dalam siang yang terik
pada deras hujan yang mengguyur
pada angin, pada pagi
kau

Rabu, 22 September 2010

Saat cinta datang dengan hormat mengetuk pintu hati,
Maka bukalah pintu hati lebar-lebar
Biarkan cinta membuat jendela-jendela
Agar sepi membelai buai menyejukan tiap lekuk relung hati
Saat cinta datang mencongkel jendela tanpa setahu penjaga hati
Jangan usik dia, karena dia akan mengganti jendela itu
Dengan jendela baru yang lebih indah mempesona
Rasakan saja hadirnya agar dia bebas
Mengukir dinding-dinding hati

Selasa, 21 September 2010

Senbazuru Orikata


Akhir Mei 2010. Saya lupa tepatnya tanggal berapa, yang saya ingat waktu itu hari Jumat ^^.
Ini kali pertama kami pergi ke Pasar Tanah Abang. Saya, Mba Nining dan Mba Tari. Kami pikir naik KRL ekonomi biasa satu kali udah beres. Emang bener sih bisa langsung naik kereta yang jurusannya Tanah Abang. Emang bener juga bisa langsung naik kereta ekonomi biasa. Yang ngga kami tahu ialah, ternyata kereta khusus ini nggak kaya kereta ekonomi biasa jurusan Kota yang ada di hampir setiap jam bahkan mungkin setiap menit. Ternyata kereta jurusan Tanah Abang cuma ada di jam-jam tertentu, jam 8 dan 9 pagi sama jam 12 siang.  Jadilah kami yang leha-leha berangkat ke stasiun UI jam 1 siang harus rela dioper dulu di Stasiun Manggarai baru naik kereta AC ekonomi ke Tanah Abang. Yah,nambah biaya...(-_-).
Sampai di stasiun Manggarai-pun kami ngga bisa langsung naik kereta ekonomi AC jurusan Tanah Abang itu. Kami harus nunggu hampir 1,5 jam karena keretanya baru sampe di Stasiun Manggarai sekitar jam setengah 3 sore. Hha, kami-pun mlongo di stasiun, bengong ngeliatin orang-orang dan kereta yang seliweran ngga habis-habis berhubung saya lupa bawa buku bacaan yang biasanya selalu terselip di tas saya.
Setengah jam menunggu, saya sudah bosan. Ngobrol ngalor-ngidul udah tutup kasus. Otak-otak stasiun dalam plastik di tangan sudah tandas. Dan stasiun mulai sepi, objek pengamatan udah berkurang. Tiba-tiba saya teringat ada satu benda lagi yang biasanya selalu ada dalam tas. Kertas. Kertas apapun. Sobekan Koran atau yang masih utuh yang saya beli di penjual Koran cilik yang banyak seliweran di bikun. Isi binder yang tercecer. Selebaran warna-warni yang biasanya ditempel di tiang-tiang listrik, yang dibagiin mas-mas di gerbang atau pintu masuk, atau yang ditaruh sembarangan begitu saja di halte-halte bikun. Hobi yang aneh memang, tapi cukup menyenangkan. Daripada kertas2 itu terbuang begitu saja, bikin kotor tanah, bikin rusak pemandangan, lebih baik saya manfaatkan. Yang bagian belakangnya masih polos ngga ada tulisannya, biasanya saya manfaatin jadi kertas coret-coretan. Kalo yang udah penuh tulisan, saya manfaatin jadi…kertas origami!! ^^. Itung-itung mempertajam keahlian semasa TK, walaupun yang biasa saya bikin ya itu-itu aja. Pesawat terbang, kapal laut, topi suster, orang2n sawah, katak (kalo saya belum lupa caranya) dan senbazuru (bangau kertas).
Saya masih ingat kertas apa yang saya gunakan waktu itu. Leaflet dari FPM (Forum Pergerakan Mahasiswa) tentang seminar UU BHP yang dimoderatori Kak Maman, ketua BEM FT, warna putih, kuning dan hijau (yang warna warni itu kertasnya ya, bukan kak Maman-nya,ahaha). Tangan saya langsung sibuk melipat dan  menyobek, dua kawan saya, Mba Nining dan Mba Tari ikut-ikutan. Setelah jadi, iseng-iseng saya lempar keatas, niatnya diterbangin, siapa tau terjadi keajaiban bangau kertas yang saya buat jadi Burung Gereja beneran,haha.

Ternyata memang imajinasi saya saja yang berlebihan, alih-alih senbazu saya tiba-tiba bersinar lalu berubah jadi burung sungguhan, saya malah dicubiti Mba Tari dan Mba Nining karena senbazuru-senbazuru saya yang tercecer malah makin mengotori lantai stasiun yang memang sudah kotor. Ahaha. Saya juga jadi nggak enak hati, karena saya juga dipandangi sama orang-orang di stasiun, mungkin mereka pikir saya ini kurang kerjaan. Dan sialnya memang iya. =P

Tiba-tiba seorang anak laki-laki kecil berpakaian kumal warna abu-abu pekat (saya tebak warna aslinya bukan hitam, mungkin warna-warna cerah seperti merah atau hijau, tak terdefinisi deh saking sudah kumalnya), sobek sana-sini, botak, muka kotor terbakar matahari, dan tampangnya (subjektif nih) kaya anak nakal pada umumnya (ahaha, saya sendiri tidak bisa mendefinisikan seperti apa tampang anak nakal itu..) memungut senbazuru itu.
“ Eh, siapa yang bikin nih?”, dia berkata.
Suaranya itu juga suara khas anak jalanan. Kasar dan sedikit serak. Huft, kadang2 pikiranku emang dangkal. Judge the book from its cover. Astaghfirullah…
Eh,tau-tau Mba Nining nyeletuk, “ Dia nih!”, sambil nunjuk2 aku. Oh no… Aku cuma nyengir. Anak itu ternyata bawa temen. Laki-laki juga, gondrong dengan potongan rambut acak-acakan, seperti dipangkas asal-asalan pake gunting. Pakaian tak kalah kumal bercelana jeans sobek-sobek. Tapi wajahnya lebih bersahabat daripada si anak pertama. Hhe
“ Waah, asik. Bikinnya gimana nih?”, anak botak tadi lagi yang ngomong.
“ Minta ajarin sama mba yang ini aja.”, Mba Nining lagi yang ngomong. Masih sambil nunjuk2 saya.
Tiba-tiba…jeng jeeeng! Jiwa sosial saya muncul =D. Asik ada kerjaan. Lalu saya mulai mengeluarkan amunisi. Setumpuk. Mba Nining dan Mba Tari aja sampe agak melotot, ngga mengira saya bawa kertas sebanyak itu.  Saya memang ngambilnya langsung setumpukan, di halte FT, hhi, nakal ya.
“ Ayo ayo, kenalan dulu”
Dari sini saya jadi tahu anak botak itu namanya Nanang dan yang gondrong namanya Rudi.
Mulai beraksi!!
Rudi & Nanang

“ Jadi dilipet dulu, kayak gini, ini kan kertasnya bentuknya persegi panjang, dibikin jadi segi empat dulu, dilipet segitiga, trus sisanya disobek aja…bla bla”, se-alon mungkin saya njelasin dan praktekin, soalnya saya ngerti sih, lumayan susah awalnya, apalagi buat mereka yang belum pernah bikin. Tapi kayaknya sih mereka masih tetep aja kewalahan. Kelihatan dari raut muka mereka. Saya tertawa lalu dengan lebih perlahan ngajarinnya. Nanang masih tetep kewalahan, akhirnya saya ajarin dari tangan ke tangan. Haha, kaya lagi ngapain aja ya. Saya pegang tangannya yang kotor, kuku-kukunya yang hitam. Agak gimana gitu awalnya, tapi nggak apalaaah. Belajar jangan takut kotor ^^ (kayak iklan deterjen). Lagian saya bawa hand-sanitizer kok ^^. Rudi ternyata lebih cepet nangkep dibanding Nanang. 

“ Yiieee…jadi!”, seru Rudi, bikin Nanang sedikit cemberut. Hahaha, dasar anak kecil. Akhirnya senbazuru Nanang jadi juga. Biarpun hasilnya agak nggak karuan, mencong sana, penyok sini, dan agak kotor. Tapi saya bisa melihat senyum kepuasan dari binar matanya. Cring cring cring! Bahagia rasanya, lihat muka polos (tapi tetep aja punya tampang nakal,hhi ) khas anak-anak mereka. Kami menghibur Nanang yang senbazuru-nya ngga serapi milik Rudi.
“ Kalo sering bikin ntar juga lama-lama bisa bagus kok”. Lalu saya mengeluarkan kertas lebih banyak lagi. Setelah bosan bikin burung-burungan, kami bikin orang-orangan sawah. Caranya lebih gampang, tapi tetep aja si Rudi yang berhasil bikin duluan. Dan lebih rapi. Orang-orangan punya Nanang bajunya sobek dan bibirnya miring.
“ Haha, dasar si Botak”, canda saya. Yang merasa kepalanya botak hanya cengengesan.
Sambil melipat-lipat kertas, kami ngobrol. Tentang kehidupan mereka.
“ Harusnya saya udah masuk SMP kak, tapi nggak ada duit, hhe”, kata Rudi. Ia putus sekolah waktu kelas 5 SD. Nanang juga nggak jauh berbeda. Ia putus sekolah waktu kelas 4 SD.
“ Biasanya kita disini minta-minta, kalo nggak nyemirin sepatu, nyapu-nyapu gerbong, yang penting bisa makan,” jawab Rudi waktu kami tanya ngapain aja mereka di stasiun.
Saya menghela nafas, menatapi mereka yang sedang serius bikin origami. Dari atas sampai bawah.
Mereka sebenarnya cerdas. Anak-anak yang sedang haus-hausnya mengais pengetahuan, menggali ilmu. Terlihat dari betapa mereka penasarannya dengan hal seremeh bikin burung-burungan dari kertas bekas seperti ini. Dari betapa Rudi yang cepat nangkep informasi (insyaAllah kalo dia dikasih kesempatan lagi buat sekolah, dia pasti dapet rangking terus, yaah meskipun sebenernya ukuran kecerdasan bukan semata dilihat dari rangkingnya).  Dari betapa gigihnya Nanang yang walaupun origami buatannya nggak pernah beres, tapi terus mencoba, sampai dia bisa (insyaAllah kalo dia dikasih kesempatan lagi buat sekolah, dia pasti sukses jadi pemain bola, hha, maksud saya sukses di pelajaran, karena kegigihannya). Dari antusiasnya mereka belajar.
Mereka juga sebenarnya baik. Saya tahu dari bagaimana mereka terlihat sangat berterimakasih karena sudah diajarin bikin origami. Saya tahu dari polosnya mereka menjawab segala pertanyaan2 yang kami lontarkan.
Saya ingin bertanya lebih jauh, tentang gimana keluarga mereka, tentang gimana perasaan mereka yang harus terpaksa mencari uang sendiri, menghadapi bahaya di jalanan dan stasiun yang mengancam setiap detik hidup mereka, tentang…pengen nggak sih mereka sekolah lagi. Haha, mungkin pertanyaan terakhir adalah pertanyaan retoris. Jawabannya sudah pasti pengen. Banyak banget pertanyaan yang berkecamuk dalam benak saya. Seringkali saya menghela nafas, melihat betapa kehidupan stasiun telah membentuk karakter keras dan kasar mereka. Sebenernya mereka anak-anak manis. Terutama Rudi. Aaaahhh..dia ituu sebenernya cakeeep, coba aja bersih trus rambutnya rapi dikit, mau deh saya jadi kakaknya. Tapi dengan keadaannya yang sekarang, nggak apa-apa juga saya dianggap kakak,kok. Hha.
Ya. Anak-anak manis. Kehidupan yang memaksa mereka jadi begini. 

Tapi pertanyaan-pertanyaan itu belum sempat keluar dari mulut saya, hanya tersimpan dalam benak saya. Alasannya, ada orang yang pernah bilang, anak-anak jalanan terkadang sensitif dengan keadaan mereka. Kadangkala mereka memiliki trauma tersediri yang salah-salah jika terusik, bisa membuat mereka jadi tiba-tiba bertindak kasar. Tapi sepertinya hal ini juga berlaku buat anak jalanan maupun anak rumahan. Anak-anak punya emosi labil yang kalo terganggu sedikit, bisa mengubah mereka dari malaikat mungil yang manis dan lucu jadi “little monster”. Hha, tapi sepertinya perumpamaan yang saya buat sedikit berlebihan.>.<
Alasan lainnya, speaker stasiun sudah berkoar-koar  menginfokan bahwa kereta ekonomi AC jurusan Tanah Abang dari arah Selatan akan memasuki jalur 2 stasiun Manggarai. Harga tiket Rp 5500 (haha,kalo yang ini sih ngga disebutin). Kami bangkit menuju jalur 2, mereka mengantar. Melompat-lompat dari rel satu ke rel yang lain. Ikut masuk ke gerbong, keluar, masuk lagi, keluar lagi karena tau-tau ada petugas dateng. Mereka melambai-lambai sampai pintu gerbong akhirnya tertutup. Sampai kereta akhirnya melaju.
Satu lagi peristiwa kecil yang Allah berikan untuk menyadarkan kami akan betapa beruntungnya hidup kami. Kami yang berasal dari desa tapi telah diberi kesempatan begitu besar untuk menimba ilmu di universitas yang memakai nama Negara ini. Apalagi saya yang berasal dari kecamatan yang terkadang namanya hanya tercantum dipeta-peta mudik karena menjadi salah satu jalur mudik yang  padat dan sering macet sampai-sampai di pintu keretanya dipasangi CCTV (=P). Beruntung karena masih mengecap bagaimana serunya masa SD tanpa harus susah payah berpikir darimana uang buat beli pensil, penghapus, sepatu dan seragam yang kami pakai. Bersyukur karena saya masih bisa menikmati romansa cinta pertama kala SMP[ (*^.^*) uuuu…] tanpa harus dihantui masalah akan makan apa esok..
Kami beruntung dan mereka kurang beruntung. Sudah seharusnya kami yang lebih memiliki berbagi kepada mereka yang masih kekurangan. Agak menyesal saya, karena tidak bisa melakukan lebih dari hanya mengajari mereka melipat-lipat dan menyobek-nyobek kertas. 
Saya tidak berharap pada dongeng Senbazuru Orikata yang konon keinginan kita akan tercapai jika bisa membuat origami bangau kertas sebanyak seribu buah. Saya realistis, logis dan cukup agamis =). Saya dan teman-teman hanya bisa berdoa semoga suatu saat mereka diberi kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik. Semoga mereka selalu dijaga olehNya,cause Allah is the best keeper,ever. Karena Ia adalah penjaga sebaik-baiknya penjaga. Karena Ia maha adil dan maha mencukupi.
Dan semoga, lain kali kami diberi kesempatan lagi untuk bertemu mereka. Di keadaan yang lebih baik. Untuk mengajari mereka membuat katak dari kertas ^^. 
Ya,semoga..