Senin, 11 Oktober 2010

Senbazuru Orikata Part II




Saat itu saya sedang menanti  kereta Kutojaya di Stasiun Manggarai. Pulang kampung. Seorang diri ^^.



Seorang anak kecil kumal menghampiri saya, kutaksir umurnya baru sekitar 5 tahun. Berpakaian warna kuning usang, celana jins yang tak kalah kumal dan wajah kotor belepotan debu mungkin campur keringat dan ingus. Namun kuakui wajahnya cukup menggemaskan dibandingkan anak-anak jalanan lain yang biasanya bertampang nakal dari ‘sono’nya dan memasang wajah sok imut sok memelaskan waktu meminta-minta (subjektif saya aja ini,lho).
Ia menengadahkan tangan dan saya hanya tersenyum mengisyaratkan penolakan, saya lagi bner2 nggak punya uang lebih waktu itu. Ditambah kehati2anku buka2 dompet di stasiun Manggarai yang cukup ramai kala itu.
Anak itu belum pergi juga, ia lantas melirik tas hitamku yang diatasnya tergeletak 2 buah novel yang niatnya akan kubaca sambil menunggu kereta.

“ Bukunya boleh minta?”, katanya tiba-tiba, dengan gaya merajuk, dengan cara bicara cadel.
“ Eh? Buat apa?”, saya sedikit kaget.
“ Buat sekolah...”
“ Tapi ini bukunya udah ada tulisannya,De. Bukan buku tulis”
“ Tapi mau...”
“ Lho, emang kamu udah bisa baca?”. Ia menggeleng.
“ Makanya...bukunya buat sekolah...pengen sekolah..”.

Saya tersenyum, getir. Sedikit jengah juga sama pandangan orang2 di dekatku. Dikiranya ntar saya ngapa-ngapain anak ini. Tapi masa kukasihin bukunya ke dia? Selain sayang karena belum juga kubaca (astaghfirullah..egois  ya..bukunya sih lumayan murah, cz kubeli waktu diskon besar2n….) saya juga ragu anak itu bakal mempergunakan buku ini dengan baik. Ujung2nya kalo dia ngga bisa ngebacanya, jangan2 malah dibuang...

“ Kalo nasi, mau ga?”, saya dapat ide.
Dengan sedikit kecewa ia mengangguk. Kuberi ia nasi dan lauknya serta kue-kue, hampir separuh lebih bekal perjalananku. Tak apalah, ikhlas. Alhamdulillah perut ini sudah cukup terisi sarapan dan makan siang lezat buatan bude dan mba-ku. Insyaallah kuat sampai tujuan. Kalaupun nanti lapar di tengah malam, masih ada cukup uang untuk beli makanan.  Lalu ia pergi, sedikit berlari. Menghampiri seorang ibu2 kurus yang sedang menggendong balita. Kemungkinan besar itu ibunya.
Ini hanya satu elegi kecil dari jutaan cerita tentang anak jalanan. Hha, entah tepat atau tidak sebutan yang saya berikan padanya karena nyatanya ia meminta2 di stasiun, bukan di jalanan. Ironi bahwa anak sekecil itu sudah ingin sekolah. Mungkin sebagian besar dari kita akan menganggap itu cuma akal-akalan aja, biar dikasih duit. Mungkin. Tapi saya tidak. Mungkin iya anak tersebut dilatih cara2 bagaimana supaya orang kasihan padanya. Namun pasti di lubuk hatinya, anak tersebut juga pasti ingin sekolah, ingin mengecap ilmu, atau setidaknya ‘pikiran anak2’nya berpikir pasti bakalan punya banyak temen kalo pergi ke sekolah,..

Setidaknya, saya ingin terus mempercayainya.

Rabu, 06 Oktober 2010

Episode Patah Hati

Aku belum pernah patah hati. Bagaimana bisa patah hati? Pacaran saja aku belum pernah.
menurutku, hanya orang bodoh yang mau pacaran. Terus sakit hati. Mencari masalah sendiri...
Lihatlah mereka yang patah hati. Lupa akan dirinya sendiri. Mereka terlihat begitu menderita. Karena cinta? iiihh..
Kemarin sahabatku baru putus dari pacarnya, patah hati ia mengadu. Meraung-raung, histeris. Dimaki-makinya sang mantan pacar yang meninggalkan dia untuk perempuan lain. Air matanya sampai kering. Matanya bengkak.Wajahnya merah. Jelek. Ingin rasanya kubawa cermin, biar dia tahu betapa jelek wajahnya ketika sedang menangis seperti itu.
Sudah lebih dari sejam dia menangis dihadapanku. Aku tak tahan. Lalu kukatakan kepadanya.
" Kalau kamu nggak mau patah hati, ya jangan pacaran, dong!"
Sahabatku marah. Katanya aku tak setia kawan. Tidak berperasaan. Lalu dia meninggalkanku dengan wajah cemberut. Tak diajak bicaranya aku sampai hari ini.
Sebelumnya kakakku yang patah hati. Dia tidak menangis meraung-raung dihadapanku. Mungkin dihadapan sahabatnya. Tapi tingkahnya menyebalkan. Mengurung diri di kamar, tak mau makan, tak mau bicara. Seisi rumah dibuatnya bingung. Mungkin baginya patah hati adalah bencana besar yang harus dirasakan oleh setiap orang disekitarnya.
Ketika dia keluar kamar, yang dilakukannya pun hanya marah dan marah. Ini salah. Itu salah. Aku pun kena getahnya. Tak tahan, akhirnya aku berteriak juga.
" Kalau kakak nggak mau sakit hati, ya jangan pacaran dong! Bikin susah orang lain aja!"
Dan sebuah sandal melayang, mendarat tepat di kepalaku. Aku menggerutu, kesal. Makin bulat pendapatku, jangan pernah patah hati. Patah hati membuat orang sakit gila dan membahayakn orang-orang disekitarnya. Karena itu, hindari patah hati.
Daripada pusing memikirkan orang-orang yang patah hati, hari ini aku berjalan-jalan sendirian di mall, menuju toko buku favoritku. Gara-gara sahabatku masih marah, aku terpaksa kesana-kesini tanpa teman.
Lalu kulihat sosok yang sangat kukenal, berjalan tak jauh didepanku.
Ayah? Di mall? Jam kerja ? Lagi apa ya?
Eh...Ayah bersama seseorang. siapa ya? seorang wanita? Oh, rupanya itu sekretaris ayah di kantor. Mungkin mau beli keperluan kantor.
Terus, kenapa harus berdua?
Kuikuti mereka. mereka berdua masuk ke salah satu counter pakaian bermerek. Kakak pernah meminta ayah membelikan baju disana, dan ayah hanya mengomel. Kata ayah, kakak harus belajar berhemat. Lalu kenapa ayah sendiri masuk kesana?
Mereka keluar denganmembawa jinjingan bertuliskan merek tadi. Dua jinjingan tepatnya.
Perasaanku tak karuan. Hmm..mungkin ayah meminta tolong sekretaris-nya membeli hadiah untuk ibu? Oh iya, ibu kan ulang tahun sebentar lagi. Pasti tiu sebabnya. Aku tersenyum.
Tapi langkahku tetap tak berhenti mengikuti mereka. Kali ini menuju salah satu restoran mahal. Terpaksa kutunggu di luar.
Setelah sekian lama, mereka keluar dengan tertawa bahagia. Eh, kenapa mereka bergandengan seperti itu? ayah terlihat berbeda. Begitu bersemangat. ayah mengacak-acak rambut perempuan itu dan...si perempuan ittu mencium pipi ayah!
Astaga! Ayah pun membalasnya!
Langkahku terhenti...
Ayah...
Aku menangis dan terus menangis. Aku meraung. Kurasakan kehilangan yang sangat.
Aku marah. Aku ingin mengutuk dunia!
Aduh...kenapa aku jadi seperti sahabatku? Kenapa aku jadi seperti kakakku?
Rasanya hatiku patah...Bukan,bukan sekedar patah.
Hatiku hancur berkeping-keping...







---^^ ini diambil dari buku kumpulan cerpen yang kallo ga salah judulnya: "Biarkan Aku Mencintaimu Dalam Diam"---

Senin, 04 Oktober 2010

untitled

sejak awal saya sudah tahu kalau dirinya memang sangat lebih daripada saya, dari segi manapun,
tapi entah kenapa baru sekarang saya menyadari bahwa dirinya 'amat-sangat' berbeda jauh dari saya,
kami begitu jauhnya seakan ia sudah menemukan planet pengganti Pluto namun saya baru saja memasuki roket, baru ingin beranjak dari Bumi menuju Bulan,
kami begitu berbedanya seakan ia adalah kupu-kupu Troides minos yang telah mengepakkan sayap hingga ujung pelangi,sedangkan saya adalah larva ngengat Antheraea polyphormus yang baru saja menggeliat keluar dari cangkang telur yang rapuh

see? kamu begitu 'tidak memiliki persamaan',

saya tahu bahwa sama bukan berarti cocok, dekat bukan berarti bisa saling memiliki,
saya mengerti bahwa perbedaanlah yang justru akan membuat kita saling melengkapi
hanya saja, dibutuhkan sesuatu yang bisa setidaknya membuat perbedaan tak membuat jurang pemisah diantara kami, dibutuhkan persamaan yang setidaknya membuat kita saling mengerti, tak merasa terasing dengan dunia sendiri-sendiri,
dan saya merasa...kami tidak memilikinya...
atau mungkin, ini bukanlah masalah antara sama atau beda, dekat atau jauh..
ini adalah masalah hati saya sendiri, tentang konflik yang sering terjadi di dalam diri saya sendiri, tentang rasa rendah diri, tentang pesimistik,
aah, mulut saya terkunci, pikiran saya buntu jika sudah menyangkut masalah internal diri saya, karena saya-pun belum bisa mengendalikan segala ego dan emosi yang meledak-ledak, meluap, membuncah ingin terbang, melesat ke penjuru arah, yang mungkin akan menggores, dan menyakiti diri orang lain.
saya terlalu takut untuk memulai, terlalu takut untuk mendapati dirinya kelak menjauh dari saya karena 'saya' yang dihadapannya, tak sesuai dengan 'saya' yang ada dalam bayangannya
yang jelas terasa hanyalah, saya memiliki perasaan berbeda terhadapnya, perasaan bahwa ia bisa melindungi hati, rasa yang mungkin sama diantara kami dan diri saya sendiri,
namun entah,
saya benar-benar tidak tahu,
apakah hatinya terpaut pula pada hatiku,