Senin, 24 Oktober 2011

Soundscape Hujan Hari Minggu


For my beloved broken-hearted friend(s)

When you get caught in the rain with nowhere to run 
When you’re distraught and in pain without anyone
We keep prayin’ to saved but nobody comes 
And you feel so far away that you just can’t find your way home 
You can get there alone 
It’s okay 
What you say *

Langit mendung. Kelabu tua. Suram. Udara sejuk membawa aroma air yang mulai mengambang melingkupi kota kecil ini. Orang-orang mulai mempercepat langkah kaki dan guliran kendaraan mereka. Khawatir air hujan datang menderas tiba-tiba dan membasahi baju kesayangan mereka. Kalbu-kalbu yang telah gersang terlampau lama.

Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela. **

Tak lama gerimis menggaris. Perlahan titik kecil jejaknya di trotoar membiak. Tak menyisakan warna kelabu kusam, trotoar berdebu ini diwarnai menjadi hitam berkilau oleh pewarna langit. Kemudian garis gerimis merapat, membuat pandanganku ke arah halte seberang memburam hingga aku tak bisa lagi melihat anak kecil kucal penjual koran itu. Ia yang tadinya tersandar mengantuk di pilar halte serta merta bangun karena tampias gerimis. Lalu terpengkur memandang titik-titik air. Bagaimana aku bisa menjual koran-koran hingga habis hari ini?, begitu mungkin pikirnya sambil memeluk tumpukan koran yang sepagi ini baru memberikan sekeping kecil seribuan, yang tadinya terselip di dompetku. Ia mencoba menghangatkan diri dari dingin, dan dari pikiran akan ibunya yang tengah sakit.

Ada gadis kecil diseberangkan gerimis
di tangan kanannya bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan tangis
di pinggir padang, ada pohon
dan seekor burung… ***

Taken from Anismanshur.wordpress.com


Kau ingat anak itu? Ah, sepertinya tidak. Ia hanya sekelebat sosok yang entah masuk ke folder terbuang mana dalam memorimu, yang telah sesak oleh bergiga dokumen yang lebih menarik untuk di klik dua kali olehmu. Anak itu, seperti pula aku.

Ada sekeping bulan singgah di hatimu

Memaksaku untuk melakukan hal yang sama untuk folder yang berisi memori tentangmu.

Dan hati merasa letih
Pada lusuhnya sepotong ingatan

Aku masih duduk di bangku semen halte ini, yang kini sesak dipenuhi manusia kehujanan yang memarkirkan motor seenaknya di depan halte. Menghalangi titik hujan jatuh langsung ke selokan itu.
Aku masih duduk di bangku semen halte ini. Sejak udara masih meranggas panas dan hingga kini air langit ini tak lagi gerimis. Ia telah menjelma jubah peri hujan yang meniupkan dingin.

And when the wind moves and shadows grow close
Don’t be afraid
There’s nothing you can’t face and sure they tell you
You’ll never pull through*

Aku masih duduk di halte ini. Dimana kau pernah bagikan kisah hidupmu padaku, dan kubagikan pula kisahku padamu. Juga saat hujan, yang seolah dengan genit menggoda kita untuk tertahan lebih lama di halte ini karena hadirnya. Menikmatinya berdua.

Don’t hesitate
Stay calm and sane *

Oke, sudah waktunya. Aku berdiri, yang dengan segera bekas dudukku direbut oleh wanita muda yang sedari tadi memang mengincarnya. Kuaduk tas-ku dan kuraih sebentuk payung lalu kukembangkan. Lantas dengan perlahan memutar gagangnya, aku memulai langkah pertama. Satu. Kubuat percikan air dengan langkah kakiku. Di tengah hujan, aku merasa menjelma malaikat, dan sayapku mengembang putih. Empat, lima, enam. Namun kurasakan bulu-bulunya merapuh. Satu ayunan langkah, satu bulu melayang lepas, satu kepingan dirimu yang kujatuhkan ke belakang. Dua, tiga, empat.

Step fastly and you’ll find what you need
To prepare
What you say *

Aku menyeberangi jalan. Menuju halte seberang tempat gadis kecil tadi itu memeluk koran-koran dan mimpi-mimpinya. Lalu kupindahkan gagang payung dari tanganku ke tangan mungilnya, tak perlu berkata-kata banyak kiranya. Selamat berjuang untuk hari ini dan kutitipkan salam untuk ibunya.
Hujan stagnan, tak menderas maupun mereda, rasanya ini adalah hujan terlama di musim ini. Kuremas ujung baju panjangku. Kutatap depan dan dengan mantap kuambil langkah pertama lagi keluar dari naungan halte itu. Tak berpayung. 

I can make it through the rain 
I can stand up once again 
On my own and I know 
That I’m strong enough to mend *

Aku tak peduli akan tatapan heran manusia-manusia lain terhadapku kala itu. Jika mereka berlarian menghindari hujan, aku justru akan menyongsongnya dan bergelung dalam dinginnya. Dingin hujan adalah hangat bagi hatiku.
Aku tak peduli bila seluruh kain yang menutup tubuhku rapat hanya menyisakan wajah dan tangan hingga pergelangannya, nanti akan kuyup. Justru karena cinta dari pemberi aturan akan kain inilah sudah selayaknya aku melupakanmu. Entah sementara ataupun selamanya.

And every time I feel afraid 
I hold tighter to my faith 
And I live one more day 
And I make it through the rain *

Adakah yang lebih mengajari irama ketukan luka hati selain gerimis sore hari yang semakin mengabur? Sedikit ke kiri. Buat lompatan lebar. Ada beberapa hal yang memang sebaiknya dielakkan. Seperti genangan air di depan. Atau tentangmu. Bukankah pernah kukatakan, hidup ini adalah birama. Maka gambarkan saja tangga nada dan kita berloncatan di antaranya. 

Melupakanmu senyata embus angin
Tersisih
Secara sembunyi diantara kelopak dan sari bunga lonceng musim semi
Ada yang jatuh di hijau rumput
Dan beberapa masih bergelayut di ujung tangkai

Langkahku berirama. Mengambil nada. Berkecipak mengganggu rintik hujan pada genangan. Mengguncang-guncang sayap di punggungku, makin merontokkan bulu-bulunya. Dua puluh, dua satu, dua sembilan. Ah, hitunganku kacau. Namun terasa sekali kepingan dirimu beterbangan pula semakin banyak. Puzzle yang justru tak ingin kuselesaikan. Melayang pelan lalu turun ke genangan air dibelakangku. Sayapku kini tinggal kerangka, meranggas, mengering hitam lalu pyaaas! Melebur debu. Dan keping terbesarmu benar-benar terburai ke udara. Aku tak tertawa, meski rasanya dadaku lega luar biasa. Aku tak mengaduh, meski ada sakit yang ditinggalkan. Aku tersenyum. Cukup kiranya. 

Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan **

Kita tak pernah saling menyentuh, hanya mungkin hatiku yang kurasakan seakan terpaut padamu. Tak perlu kau jawab apakah hatimu terpaut pula padaku karena aku takkan pernah tergelitik lagi untuk menanyakannya padamu. Kurentangkan tangan mencoba memeluk hujan. Aku tak gila. Aku hanya tergila-gila pada hujan. Dan mungkin dulu hujan adalah representasiku untukmu. Dulu. Bagiku hujan adalah soundscape, tokoh yang begitu dekat denganku, yang begitu ku kenal suaranya, yang begitu menarik tingkah polahnya, dan yang begitu tulus cintanya, pada tanah.
Garis hujan menipis. Kucoba berlari, tapi lalu aku terkikik. Rok ini takkan mengizinkanku untuk berlaku tak anggun lagi, maka kumelodikan lagi saja langkahku. Dan aku tak ingin lagi jadi malaikat, atau peri hujan. Cukup menjadi gadis pengagum gerimis. Karena kusadari akhirnya, cinta pada hujan takkan pernah menjadi selamanya.

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu ****






Disclaimer: Karya ini dibuat dengan mencampurkan begitu banyak materi dan sumber, terkesan sesak dan berantakan ya? Haha. Gaya penceritaan saya contek dari salah satu karya Meliana Indie Zhong dalam situs kampungfiksi.com, beberapa pula saya selipkan kata-kata yang sama dari karya, hingga mungkin jika anda membaca karyanya, akan terkesan sekali saya menjiplak karyanya. Hahaha, saya hanya sedang belajar menghasilkan sesuatu yang indah. Mohon maaf. Potongan-potongan puisi dan lirik lagu yang saya gunakan dalam tulisan ini juga saya nukil dari banyak sumber, dan saya tandai dengan membintanginya di tiap akhir bait dalam paragraf. Ah. Lebih tepatnya, seluruh puisi berbintang dalam tulisan ini ialah karya Sapardi Djoko Damono, yang karya-karyanya memang mencipta binar-binar bintang pada dada ketika membacanya. Haha. Dan  yang tak berbintang ialah nukilan yang telah benar-benar saya lupa judul dan pengarangnya karena tersimpan begitu saja dalam otak karena keindahannya atau karya saya sendiri. Maaf sekali lagi. Setidaknya untuk seluruh yang saya contek, kutip dan nukil, telah dengan sebaik mungkin saya usahakan untuk mencantumkan sumbernya.

*Lyrics from song Through the Rain by Mariah Carey
**Sihir Hujan-Sapardi Djoko Damono
***Gadis Kecil-Sapardi Djoko Damono
****Hujan Bulan Juni-Sapardi Djoko Damono