For my beloved broken-hearted friend(s)
When you get caught in the rain with nowhere to run
When you’re distraught and in pain without anyone
When you’re distraught and in pain without anyone
We keep prayin’ to saved but nobody comes
And you feel so far away that you just can’t find your way home
You can get there alone
It’s okay
What you say *
And you feel so far away that you just can’t find your way home
You can get there alone
It’s okay
What you say *
Langit mendung. Kelabu tua.
Suram. Udara sejuk membawa aroma air yang mulai mengambang melingkupi kota
kecil ini. Orang-orang mulai mempercepat langkah kaki dan guliran kendaraan
mereka. Khawatir air hujan datang menderas tiba-tiba dan membasahi baju
kesayangan mereka. Kalbu-kalbu yang telah gersang terlampau lama.
Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela. **
-- swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela. **
Tak lama gerimis menggaris.
Perlahan titik kecil jejaknya di trotoar membiak. Tak menyisakan warna kelabu
kusam, trotoar berdebu ini diwarnai menjadi hitam berkilau oleh pewarna langit.
Kemudian garis gerimis merapat, membuat pandanganku ke arah halte seberang
memburam hingga aku tak bisa lagi melihat anak kecil kucal penjual koran itu.
Ia yang tadinya tersandar mengantuk di pilar halte serta merta bangun karena
tampias gerimis. Lalu terpengkur memandang titik-titik air. Bagaimana aku bisa menjual koran-koran
hingga habis hari ini?, begitu mungkin pikirnya sambil memeluk tumpukan
koran yang sepagi ini baru memberikan sekeping kecil seribuan, yang tadinya
terselip di dompetku. Ia mencoba menghangatkan diri dari dingin, dan dari pikiran
akan ibunya yang tengah sakit.
Ada gadis kecil diseberangkan gerimis
di tangan kanannya bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan tangis
di pinggir padang, ada pohon
dan seekor burung… ***
di tangan kanannya bergoyang payung
tangan kirinya mengibaskan tangis
di pinggir padang, ada pohon
dan seekor burung… ***
Taken from Anismanshur.wordpress.com |
Kau ingat anak itu? Ah, sepertinya
tidak. Ia hanya sekelebat sosok yang entah masuk ke folder terbuang mana dalam
memorimu, yang telah sesak oleh bergiga dokumen yang lebih menarik untuk di
klik dua kali olehmu. Anak itu, seperti pula aku.
Ada sekeping bulan singgah di hatimu
Memaksaku untuk melakukan hal yang sama
untuk folder yang berisi memori tentangmu.
Dan hati merasa letih
Pada lusuhnya sepotong ingatan
Pada lusuhnya sepotong ingatan
Aku masih duduk di bangku semen
halte ini, yang kini sesak dipenuhi manusia kehujanan yang memarkirkan motor
seenaknya di depan halte. Menghalangi titik hujan jatuh langsung ke selokan itu.
Aku masih duduk di bangku semen
halte ini. Sejak udara masih meranggas panas dan hingga kini air langit ini tak
lagi gerimis. Ia telah menjelma jubah peri hujan yang meniupkan dingin.
And when the wind moves and shadows grow close
Don’t be afraid
There’s nothing you can’t face and sure they tell you
You’ll never pull through*
Don’t be afraid
There’s nothing you can’t face and sure they tell you
You’ll never pull through*
Aku masih duduk di halte ini. Dimana kau
pernah bagikan kisah hidupmu padaku, dan kubagikan pula kisahku padamu. Juga
saat hujan, yang seolah dengan genit menggoda kita untuk tertahan lebih lama di
halte ini karena hadirnya. Menikmatinya berdua.
Don’t hesitate
Stay calm and sane *
Stay calm and sane *
Oke, sudah waktunya. Aku
berdiri, yang dengan segera bekas dudukku direbut oleh wanita muda yang sedari
tadi memang mengincarnya. Kuaduk tas-ku dan kuraih sebentuk payung lalu
kukembangkan. Lantas dengan perlahan memutar gagangnya, aku memulai langkah
pertama. Satu. Kubuat percikan air dengan langkah kakiku. Di tengah hujan, aku
merasa menjelma malaikat, dan sayapku mengembang putih. Empat, lima, enam.
Namun kurasakan bulu-bulunya merapuh. Satu ayunan langkah, satu bulu melayang
lepas, satu kepingan dirimu yang kujatuhkan ke belakang. Dua, tiga, empat.
Step fastly and you’ll find what you need
To prepare
What you say *
To prepare
What you say *
Aku menyeberangi jalan. Menuju halte
seberang tempat gadis kecil tadi itu memeluk koran-koran dan mimpi-mimpinya.
Lalu kupindahkan gagang payung dari tanganku ke tangan mungilnya, tak perlu
berkata-kata banyak kiranya. Selamat berjuang untuk hari ini dan kutitipkan
salam untuk ibunya.
Hujan stagnan, tak menderas maupun mereda,
rasanya ini adalah hujan terlama di musim ini. Kuremas ujung baju panjangku.
Kutatap depan dan dengan mantap kuambil langkah pertama lagi keluar dari
naungan halte itu. Tak berpayung.
I can make it through the rain
I can stand up once again
On my own and I know
That I’m strong enough to mend *
I can stand up once again
On my own and I know
That I’m strong enough to mend *
Aku tak peduli akan tatapan heran manusia-manusia lain terhadapku
kala itu. Jika mereka berlarian menghindari hujan, aku justru akan
menyongsongnya dan bergelung dalam dinginnya. Dingin hujan adalah hangat bagi
hatiku.
Aku tak peduli bila seluruh kain yang menutup tubuhku rapat hanya
menyisakan wajah dan tangan hingga pergelangannya, nanti akan kuyup. Justru
karena cinta dari pemberi aturan akan kain inilah sudah selayaknya aku
melupakanmu. Entah sementara ataupun selamanya.
And every time I feel afraid
I hold tighter to my faith
And I live one more day
And I make it through the rain *
I hold tighter to my faith
And I live one more day
And I make it through the rain *
Adakah yang
lebih mengajari irama ketukan luka hati selain gerimis sore hari yang semakin
mengabur? Sedikit ke kiri. Buat lompatan lebar. Ada beberapa hal yang memang
sebaiknya dielakkan. Seperti genangan air di depan. Atau tentangmu. Bukankah
pernah kukatakan, hidup ini adalah birama. Maka gambarkan saja tangga nada dan
kita berloncatan di antaranya.
Melupakanmu senyata embus
angin
Tersisih
Secara sembunyi diantara kelopak dan sari bunga lonceng musim semi
Ada yang jatuh di hijau rumput
Dan beberapa masih bergelayut di ujung tangkai
Tersisih
Secara sembunyi diantara kelopak dan sari bunga lonceng musim semi
Ada yang jatuh di hijau rumput
Dan beberapa masih bergelayut di ujung tangkai
Langkahku
berirama. Mengambil nada. Berkecipak mengganggu rintik hujan pada genangan. Mengguncang-guncang
sayap di punggungku, makin merontokkan bulu-bulunya. Dua puluh, dua satu, dua sembilan.
Ah, hitunganku kacau. Namun terasa sekali kepingan dirimu beterbangan pula semakin
banyak. Puzzle yang justru tak ingin kuselesaikan. Melayang pelan lalu turun ke
genangan air dibelakangku. Sayapku kini tinggal kerangka, meranggas, mengering
hitam lalu pyaaas! Melebur debu. Dan keping terbesarmu benar-benar terburai ke
udara. Aku tak tertawa, meski rasanya dadaku lega luar biasa. Aku tak mengaduh,
meski ada sakit yang ditinggalkan. Aku tersenyum. Cukup kiranya.
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan
selokan
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan **
- - menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan **
Kita tak pernah saling menyentuh, hanya
mungkin hatiku yang kurasakan seakan terpaut padamu. Tak perlu kau jawab apakah hatimu terpaut pula
padaku karena aku takkan pernah tergelitik lagi untuk menanyakannya padamu. Kurentangkan tangan mencoba
memeluk hujan. Aku tak gila. Aku hanya tergila-gila pada hujan. Dan mungkin
dulu hujan adalah representasiku untukmu. Dulu. Bagiku hujan adalah soundscape,
tokoh yang begitu dekat denganku, yang begitu ku kenal suaranya, yang begitu
menarik tingkah polahnya, dan yang begitu tulus cintanya, pada tanah.
Garis hujan menipis. Kucoba
berlari, tapi lalu aku terkikik. Rok ini takkan mengizinkanku untuk berlaku tak
anggun lagi, maka kumelodikan lagi saja langkahku. Dan aku tak ingin lagi jadi
malaikat, atau peri hujan. Cukup menjadi gadis pengagum gerimis. Karena
kusadari akhirnya, cinta pada hujan takkan pernah menjadi selamanya.
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu ****
dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu ****
Disclaimer: Karya ini dibuat dengan mencampurkan
begitu banyak materi dan sumber, terkesan sesak dan berantakan ya? Haha. Gaya
penceritaan saya contek dari salah satu karya Meliana Indie Zhong dalam situs
kampungfiksi.com, beberapa pula saya selipkan kata-kata yang sama dari karya,
hingga mungkin jika anda membaca karyanya, akan terkesan sekali saya menjiplak
karyanya. Hahaha, saya hanya sedang belajar menghasilkan sesuatu yang indah.
Mohon maaf. Potongan-potongan puisi dan lirik lagu yang saya gunakan dalam
tulisan ini juga saya nukil dari banyak sumber, dan saya tandai dengan membintanginya
di tiap akhir bait dalam paragraf. Ah. Lebih tepatnya, seluruh puisi berbintang
dalam tulisan ini ialah karya Sapardi Djoko Damono, yang karya-karyanya memang
mencipta binar-binar bintang pada dada ketika membacanya. Haha. Dan yang tak berbintang ialah nukilan yang telah
benar-benar saya lupa judul dan pengarangnya karena tersimpan begitu saja dalam
otak karena keindahannya atau karya saya sendiri. Maaf sekali lagi. Setidaknya
untuk seluruh yang saya contek, kutip dan nukil, telah dengan sebaik mungkin
saya usahakan untuk mencantumkan sumbernya.
*Lyrics from song Through the Rain by
Mariah Carey
**Sihir Hujan-Sapardi Djoko Damono
***Gadis Kecil-Sapardi Djoko Damono
****Hujan Bulan Juni-Sapardi Djoko Damono
assalamualaikum...
BalasHapussalam kenal...
ijin copy pict-nya
assalamualaikum...
BalasHapussalam kenal...
ijin copy pict-nya