Kamis, 05 April 2012

Negla, I'm in Love (part one)

Another story from Gerakan UI Mengajar, 1st Batch
Episode: Kami merindukan..

Kerinduan akan masa lalu itu semu, kata seorang pengarang. Toh masa lalu itu hanya bersemayam di ingatanmu, bukan? Mereka tak nyata, tambahnya.
Tapi, kerinduan kali ini begitu nyata. Setidaknya saat aku mengalami waktu-waktu sulit dan kusadari aku pernah mengalami waktu-waktu yang begitu menyenangkan.
Dan kala tumpukan buku diktat, deadline seminar dan soal-soal ujian erat menghimpit serabut-serabut syaraf di otak, kerinduan ini semakin menjadi-jadi. 

Ya, ketika polifonik ‘fa-sol-si-do’ ponselku tiba-tiba berdenting.

Pesan masuk. 

Dari mereka, sekian lama setelah pesan terakhirku pada mereka sebulan yang lalu.

Melihat titik sebagai pengganti spasi, susunan kata yang aneh, dan tanda tanya yang selalu digunakan di akhir kalimat alih-alih titik, tanpa membaca pengirimnya pun bisa kutebak itu Sendi. Bocah hitam manis, peringkat dua di kelas semester kemarin. 
Biasanya, di pesan-pesan sebelumnya, setelah membaca, di benakku lalu tergambar senyum dan aroma tubuh mereka. 

Namun kali ini berbeda.

Bagai film, potongan-potongan memori itu berlarian di benak. Diiringi instrumentalia ‘Tarn of Tralee’ entah darimana asal bunyinya, yang tiba-tiba mengalun lembut di telingaku…

Menghadapi tiga belas pandangan polos, sosokku terbata-bata memperkenalkan diri dengan bahasa Sunda di depan kelas. Dan anak-anak yang bertawa-tawa itu kecil melihat kekikukanku. Seharian, aku pusing mendengar ribuan kata-kata terucap dari mulut mereka, yang berbeda dengan bahasa Sunda yang dulu pernah kupelajari ketika SD. Percakapan mereka, terdengar seperti percakapan alien di telingaku.
Potongan memori berlari makin cepat.

Mereka, dan aku, yang main gobak sodor dalam kelas, menyingkirkan meja-meja dan kursi-kursi, alih-alih pelajaran SBK dan Pengembangan Diri. “Hari ini belajar pengembangan jasmani saja ya!”, seruku, lalu tertawa berlari memasuki arena tanding.
Makin cepat.

Mata dan mulut mereka yang bulat membesar melihat magnet dan lup yang kubawa, yang kuperagakan dengan mereka di lapangan sekolah saat istirahat, yang menggelitik anak-anak kelas lain untuk berubung mengikuti pelajaran IPA kami. Ikut-ikutan mencari benda-benda logam, lalu sibuk mencari pensil untuk menggores-gores kertas supaya menghitam
Euleuh, kertasna tiasa kebakar!” seru seorang anak kelas 4 sambil memegang lup yang fokusnya diarahkan pada kertas hitam yang telah ia gores-gores pensil tadi.
Berkelebat.

Baju batikku yang basah keringat. Jumat ialah hari rutin olahraga bersama dan aku tak punya baju khusus untuk mengajar olahraga, kaus katun misalnya. Ah, biarlah. Berkeringat di lapangan penuh barisan anak-anak, menghadap bebukitan, menghirup segar udara pagi, menyerap vitamin D matahari, menyenangkan!
“Di rumah senang, di sekolah senang, dimana-mana hatiku senang! Tangan dilambai-lambai, kaki ditendang-tendang, pinggul digoyang-goyang, balik kanan!”
Cepat.


Secarik kertas lusuh diantara serpihan dan debu kapur yang tergeletak di meja guru (ah, mejaku saat itu) yang membuatku tersipu-sipu sepanjang hari.
Lekas.

HVS dan kertas origami segiempat warna-warni yang mereka bentuk jadi bintang, dan mereka tuliskan cita-cita mereka disana lalu mereka tempelkan setinggi-tingginya dinding belakang kelas yang dapat kaki mereka serta dua tumpuk meja capai.
”Biar nteu’ diambil jeung anak kelas enam, bu”, ujar mereka ketika aku panik memegangi kaki-kaki meja yang mulai bergoyang  tak kuat menopang mereka. Ah, jika saja tubuhku masih seringan mereka, sudah kususul mereka naik ke meja tumpuk tiga sekaligus!
Stagnan.

Kurasakan baju panjangku mulai basah sekujur punggung. Telah seharian ini aku berkicau menerangkan pembagian, dan kudapati seorang anak yang menerawang langit-langit kelas, menatapku nanar, lalu menggeleng ketika kutanyakan hasil dari dua bagi dua!
Dan..melambat..

Pecahan dan pembagian, lagi. Dan kuhampiri meja mereka satu persatu untuk menerangkan jeruk yang terbagi empat, baju di toko yang bertuliskan diskon 75% besar-besar dan Garut-Jakarta yang berjarak 40,5 km jauhnya. Meja sebelah ribut saling tertawa, aku menoleh, tersenyum, “Ulah berisik, nya. Hayu atuh dikerjakan soal-soalnya”, ujarku. Mereka nyengir lalu sikut-sikutan.
Kuhela nafas.
.
Pelan.
.
Tiga anak didepanku ini menggores-gores angka di papan tulis di depan wajah mereka. Pelan menulis, dipandang sebentar, dan dihapus lagi, begitu berulang sejak sepuluh menit yang lalu. Yang tidak terhapus hanyalah tiga angka yang diatasnya digambar garis seperti atap sebelah rumah. Hari ini pembagian lagi, dengan sistem bagi ‘genteng’.
Teu tiasa ngerjakeun? Kenapa atuh tadi tidak memperhatikan waktu ibu menjelaskan?”. Seisi kelas hening. Aku meremas penghapus papan tulis, gemas.
.
Berhenti.
.
.
Berhenti.

Anak-anak perempuan terisak dengan wajah merah, dan sebagian besar pula yang lelaki. Sisanya menunduk dalam-dalam.
Aku? Sudah sedari tadi wajahku memerah, dan air mata..ah rasanya tidak ada lagi bagian dari wajahku yang tidak basah. Lewat mata yang mengabur karena enggan menghapus air yang menggenang di kelopaknya, aku memandangi seantero kelas.
“Bagaimana rasanya kalau kalian nggak lulus sekolah hanya gara-gara pembagian? Soal ujian pun ibu rasa nggak ada yang benar-benar cuma ditulis 300: 25. Kalian yakin bisa naik ke kelas 6? Yakin?” Suara itu keluar pelan dan terbata-bata karena sesungukan.
“Ibu nggak pernah nggak sayang sama kalian. Ibu cengeng makanya ibu ingin kalian lebih kuat dan lebih pintar dari ibu”.
Aku diam, hanya suara sesungukan yang terdengar.
Pemicunya ialah lelah, seminggu ini penuh matematika dan belum ada perubahan berarti. Ditambah pula sikap mereka yang mulai acuh pada pelajaran. Puncaknya ialah ketika kemarin aku enggan untuk mengajar satu pelajaran dan kuminta guru lain menggantikanku. Kepalaku pusing dan aku teramat lelah. Sebenarnya tak ingin aku melewatkan satu pun detik tak bersama mereka, terlebih di hari-hari terakhir ini.
Lalu hari itu kumasuki kelas, kujelaskan lagi pembagian yang telah seminggu ini kusampaikan. Kuhampiri seluruh meja dan kujelaskan lagi.
Aku tak tersenyum.
Kuberi soal sama persis dengan soal-soal sebelumnya. Kuhampiri lagi. Kuminta beberapa anak untuk maju mengerjakan soal di depan. Tak ada yang mau, menolak karena tidak bisa. Kujelaskan lagi soal itu satu persatu. Pelan, mendetail, sejelas mungkin.
Suaraku mulai meninggi.
Kuberi keterangan awan di setiap tahap pengerjaannya, kutekankan untuk disertakan dan ditulis di buka catatan mereka.
Tos ngartos, sadayana?” Aku berbalik dari papan tulis,  suaraku mulai bergetar, wajahku memanas, meski telah istighfar berkali-kali tetap saja dadaku sesak. Lelah.
Aku menatap seorang anak lelaki dan ia segera menunduk. Pandangannya tadi seolah berkata,
“Ini bukan bu guru yang biasanya..”
Lalu satu anak perempuan menelungkupkan wajah, terisak. Dua lainnya bahkan sepertinya sudah menangis ketika aku membelakangi mereka menulis awan-awan keterangan di papan tulis. Para lelaki terdiam, menunduk. Dan pertahanan airmataku jebol.
“Ibu nggak pernah nggak sayang sama kalian. Ibu cengeng makanya ibu ingin kalian lebih kuat dan lebih pintar dari ibu…”
Film memori kembali berpacu cepat

Bungkusan pensil, buku tulis, pulpen, hadiah atas keberhasilan mereka atas nilai-nilai dan sikap baik yang ditunjukkan kepadaku selama ini. Lipatan origami dan surat yang mereka hadiahkan kepadaku. Aku dan mereka telah saling tertawa lagi.
Cepat. Kali ini, backsound-nya ialah instrumentalia Emerald Forest.

Hari perpisahan. Kami, segenap guru pengganti berpamitan di sekolah. Bernyanyi, berpuisi, beatle yell-dance, tertawa, kepanasan, mandi keringat.
Cepat.

Setelah istirahat di hari perpisahan itu, aku mampir masuk kelas, menyapa mereka, mengucapkan salam perpisahan secara pribadi pada mereka.
“ Aya nu bade disampaikeun ka ibu, teu?”
Sepi.
“ Mungkin...ibu ada salah ke kalian, eh, pasti nu loba pisan, nya? Hahaha”
Diam.
“ Maafin ya, selama ini ibu ngajarnya nggak enak, susah dimengerti, cengeng lagi. Tapi ibu sayang lhoo, sama kalian. Ntar jangan lupa SMSan sama ibu ya. Eh tapi jangan sering-sering, ibu teh sering nggak punya pulsa”
Aku tertawa. Tapi anak-anak perempuan malah mulai menangis lagi.
“ Eeeh..”
Well, manabisa aku nggak nangis (lagi) di situasi seperti ini?
Kupeluk mereka satu-persatu, setidaknya untuk kasus haru seperti ini, syaraf ‘geli’-ku tidak hiper-respon seperti biasanya.
Mengingat-ingat aroma tubuh mereka, dan kelas ini. Bau keringat, bau matahari, bau apek debu, bau amis lantai sehabis di-pel, bau serbuk kapur, bau kusam tumpukan buku-buku lecek di lemari reot sudut kelas. Bau yang amat tidak menyenangkan, tapi kurindukan..

Lalu sepanjang perjalanan kembali ke Depok, hingga sekarang, masih kuterima pesan-pesan mereka. Tentang betapa mereka akan sangat merindukanku, betapa enaknya caraku mengajar, betapa sepinya kelas tanpaku dan betapa mereka merasa bersalah karena tidak menguasai pembagian. Ini nih salah satu yang kusesalkan, timing yang tak tepat, antiklimaks. Mereka hanya sedang terluka sehingga respon mereka berlebihan seperti ini.

Aaah, berbuncah keinginan untuk melompat dan menyelam ke dasar memori (seperti yang kami para guru pengganti *wink* lakukan rutin tiap akhir minggu pada sungai berbatu-batu favorit kami, Indiana Jones) jadi aku bisa mundur mendera waktu. Aku ingin kembali kesana! Kesana!

Untuk apa? Sekedar melepas rindu? Menggantikan guru disana secara permanen? Bah, baru sebulan mengajar kelas lima SD yang isinya cuma tigabelas, sudah berlagak Ibu Mus di Laskar Pelangi, kau Sekar?

Ahaha, atau..cukup untuk mengajar bahasa Indonesia, mungkin. Akan kuajarkan mereka penggunaan tanda baca yang baik, pemisahan kata yang benar, penyusunan kalimat yang indah, kalau perlu, ejaan yang disempurnakan, yang tak sempat kuajarkan dulu.

Agar setidaknya, bahasa dan tulisan sms mereka yang tadi bisa lebih indah dibaca, menjadi:
“Ibu guru sedang apa? Kami merindukan ibu..”, oh ataukah dibaca..
“Ibu guru sedang apa? Apakah ibu guru merindukan kami?”

Oh yes, I’m sobbing now.

Depok, tengah malam, besoknya UTS, April 2012