Minggu, 12 Desember 2010

Sedang Apaaaa

Sedang apa kalian disana,adik-adikku..
kangen nih, dipanggil "mbaaa", trus dengerin curhatan kalian yang lucu bin wagu,

Sedang apa kalian disana,teman-temanku..
rindu nih, dipanggil "hey,kawaaan",trus dengerin cerita kalian yang konyol nan kocak,

Sedang apa kalian disana,kakak-kakakku..
kangen, rindu juga sih disapa "dek",trus dengan meledak-ledak kuceritakan segala apa yang ada di hati,
tentang indahnya hari ini, tentang bahagianya hati ini,
atau ketika hari ini begitu suram, dan hatiku yang sedang muram..

Sedang apa kalian disana,Ayah dan Ibu..
kangen dan rindu ku-oplos satu,
kangen dipanggil "mba",
rindu dengerin tutur lembut kalian, yang bikin hatiku bergetar, yang bikin hatiku hangat,
lalu menguatkan tekadku untuk bermetamorfosa menjadi kupu-kupu dewasa,

Sedang apa kau disana, pemilik rindu-ku yang lain,
yang sepertinya tak menyadari bahwa ada setitik memori indah di lipatan benakku, yang kini berangsur menggumpal, memadat menjadi bongkahan rindu,
Dan kurasakan aku tak sanggup memecahnya, karena nanti akan mejadi kerikil tajam yang akan menggores hati,
aku tak berani, karena aku tak memiliki obat luka dan perbannya...

Halo,dik!
Lama tak berkomunikasi bukan berarti aku harus ketinggalan curhatan kalian yang seru2 kan?
Sms nggak mahal kok, paling cuma abis 150 perak per sms..ato pake 3 aja,biar kita bisa samaan, bisa dapet banyak gratisan lagi, hha..iklan lewat..

Oy,freen!
Lama tak berjumpa bukan berarti kita lost-contact, trus ngga bales sms bukan berarti aku sombong, cuma yaa..lagi sibuk aja akhir-akhir ini,
maaf banget juga kalo aku bales ala kadarnya,
habiss..bingung juga mau ngobrolin apa,
disadari atau tidak, lingkungan kita telah berbeda, telah ada banyak hal yang membuat kita terasa 'nggak nyambung'
afwan yaa..

Uuu,kakaaak..
Ada banyak cerita bermacam emosi sepanjang ini, selama kita tak berjumpa,
wanna share! wanna share! tapi saya mengerti kok, kalo kakak-kakak lagi pada sibuk jadi 'orang dewasa'..
maafin adik kecilmu yang kekanak-kanakan ini ya..
saya belum mampu untuk dewasa seperti kalian,
masih banyak yang harus saya pelajari untuk menjadi seperti kalian...

Ayah Ibu sayaang,
Biarpun kadang kalo di telepon jawaban mayoritas mba cuma "iya" ato "nggak",bukan berarti mba acuh pada kalian,
justru saat itu mba sedang menahan gejolak hati, buncahan rindu,
sejujurnya ada banyak kata yang ingin mba tuturkan, hanya saja..mba tak mampu berkata-kata lebih banyak lagi..
mendengar suara menenangkan dari kalian saja, lebih dari cukup untuk mendorong mba untuk semangat menjalani hari-hari di depan,
melompati jurang masalah,mendaki bukit cobaan,meniti jalan ujian..
tenang saja..insyaAllah mba disini baik-baik saja--yaa..cuma lagi setres aja gara-gara UTS,hhe--
mba ngga lupa nabung, cuci tangan sebelum makan, doa sebelum tidur, sarapan--meski seringnya dirapel sama lunch,hhu--,dan segala wejangan kalian selama ini, juga mendoakan kalian setiap habis shalat dan ngaji.. =)

Hey,kau yang disanaa..
lihat dan pandang aku disini!
lelah menantimu justru menjadikanku untuk sabar menunggumu,
tidak akan berharap lebih, tidak meminta balas,
hanya sajaa..sulit mengendalikan sikap jika keadaannya seperti ini,
karena..hidup memang periodik dengan semua keajaiban kecil yang Tuhan berikan =)
terimakasih telah memberikanku kesempatan untuk merasakan setitik rasa itu,Tuhan..

dan yang Tercinta, Terkasih..Allah..
tak akan cukup bermilyar-triliun terimakasih akan membalas kasih yang Engkau telah berikan pada hamba,
aku meng-iman-i kekuasaanmu, maka kuyakin, walau seluruh jagat raya sedang kau kontrol, takkan lupa Engkau pada hambamu yang teramat kecil mungil ini,=)
pintaku, jagalah mereka, semua orang-orang tersayangku,
yang telah Engkau kirimkan untuk menemani hamba hidup di dunia ini, menemani hamba menikmati indahnya, menemani hamba merasakan sulitnya..
Terimakasih..

Lima sampai Enam Desember 2010

5 Desember 2010

Ketika itu malam menyambut selepas maghrib. Dan dibawah rintik deras hujan kita berboncengan berdua. Naik Wendy, sepeda kesayanganku. Kau di sadel agak terseok-seok membawa bebanku yang lumayanlaaaah di boncengan. Aku memayungimu dengan payung kotak-kotak biru tua yang baru saja kubeli beberapa hari yang lalu dan di saat itulah aku memakainya untuk yang pertamakali. Kita berboncengan, dengan rute St.Pocin-Kutek Belakang yang trek-nya…cukup membuatku ngos-ngosan meski cuma aku sendirian yang bertengger di atas Wendy, tanpa ada yang membonceng. Maka bisa kubayangkan bagaimana penderitaan yang kau rasakan saat kau memboncengiku ketika itu.

Kutawarkan untuk aku turun saja saat tanjakan, atau lebih baik aku berjalan sendirian saja dengan aku membawa payung dan kau bersepeda ngebut sampai pondok MAB. Cukup adil menurutku. Tapi kau menolak, “ Ga pa-pa,mba..”, kau berkata. Aku tahu kau laki-laki yang kuat, tapi di usiamu yang saat ini…aku tak yakin sisa kekuatanmu yang sekarang sama dengan dahulu. Aku mengalah, terenyuh.

Lalu kukatakan bahwa peristiwa ini mengingatkanku saat masa-masa SMP-ku dulu. Ketika hujan lebat menyiksa alam pagi di Karanganyar, kau telah siap dengan jas hujan kuning-mu, jas hujan saat dulu kau mengais nafkah sebagai pegawai rendah di satu perusahaan di Cikarang. Dan kau tertawa, tawa yang renyah, aku rasa kau juga sedang mengenang masa-masa itu. Masa saat aku versi SMP yang tetap ngeyel mau bersepeda sendiri, berbekal payung ungu yang bisa berganti corak bila terkena air, meski hujan badai menerjang. Kau dan wanita lembut berhati seputih salju itu tetap memintaku yang keras kepala untuk diantar olehmu saja. Permintaan yang lama-lama memaksa. Tegas. Aku merajuk, melipat dada saat kau telah bersiap memakai jubah kuning kebesaranmu (baca: jas hujan) dan telah duduk diatas sadel. Siap meluncur menembus lebatnya hujan. Masih mengerutkan dahi, menekuk muka, aku nangkring diatas boncengan besi sepeda tuamu yang keras. Dibelakang wanita lembut itu, berdiri anak yang umurnya lebih muda tiga tahun dariku, meleletkan lidah padaku,” Dasar sok kuat, mending ngga terbang ditiup angin kau!”, begitu mungkin pikirnya. Menanti giliran diantar..

Segera setelah aku berada di boncengan kau memasang perlindungan, membungkusku rapat-rapat dengan jas hujan bagian belakangmu. “ Pegang yang kenceng ya,mba”, pesanmu. Terlanjur badmood di pagi hari, aku asal-asalan pegangan. Barulah ketika sepeda melintasi jalanan, kurasakan dinginnya air di genangan jalan yang menyiprati pinggir rok abu-abuku yang mulai kusut dan sepatu hitamku yang mulai pudar warnanya, kudengar ritme tetesan air hujan yang menimpa jas hujan yang menutupi tubuhku, suaranya terdengar tepat menetes di telingaku, juga suara-suara kendaraan lain yang terburu-buru lewat sehingga acuh saja ketika gilasan roda mereka yang menerjang genangan air menyebabkan cipratan hebat air cokelat yang untung saja tak mengenai kita tapi cukup membuat kau bergumam tak jelas saat itu. Mungkin karena cipratan tadi membuatmu tak konsen di jalan. Tak kudengar jelas gumamanmu karena saat itu aku sedang terpana dengan melodi tik-tik hujan diatas atap jas hujanku, lalu menghirup aroma tanah membasah (yang baru akhir-akhir ini kuketahui namanya petrichor) yang tercampur aroma potongan batang padi di hamparan sawah yang sedang kita lalui ini. Aroma dan melodi itu meluruhkan ngambek-ku. Tahukah kau? Menyenangkan sekali merasakannya, meluruhkan badmoodku seketika. Lalu tiba-tiba aku menyesal. Alasanku ngambek tadi amat sangat kekanakan, Cuma karena ingin dianggap kuat, hebat karena mampu sendirian menerjang deras hujan. Hha, aku memang keras kepala dan sok kuat.. Kulanjutkan menikmati aroma dan suara hujan. Tentram.. Perlahan…kudekap erat punggung bidangmu. Rasanya tak ingin sampai ke sekolah…

Tahukah kau, wahai Ayah tercinta? Saat itulah cinta pertamaku berbenih. Pada hujan. Saat itulah pula kurasakan cintaku yang selama ini tersembunyi malu-malu, menggeliat muncul, dan berkali lipat bertambah… Padamu. Pun cinta yang telah sejak saat ruh-ku ditiupkan, yang melekat erat di sluruh butir sel, bahkan untaian atom-atom dalam tubuhku, menyeruak keluar, membuncah. PadaNya. Illahi Robi.. Pencipta hujan dan segala keajaiban semesta…
Maaf karena di usiaku yang semakin tua ini, justru aku belum bisa semakin dewasa. Untuk hal seremeh mbetulin HP atau ngencengin keranjang sepeda-pun aku masih harus meminta bantuanmu… Kau rela memboncengku dari St.Pocin sampai Kutek demi aku. Demi aku.

6 Desember 2010

Kulitmu yang menghitam, keriput dimakan usia, diterpa cuaca. Rambutmu yang putih abu-abu kusam, yang tak tertata rapi, yang dulu saat ku kecil sering kau minta aku untuk mencabuti uban-uban yang menyelinap tumbuh disela-sela rambut tebalmu. Tanganmu yang besar kasar, namun lembut dan penuh kasih sayang bukan main. Wajahmu yang juga  kecoklatan saking terlalu sering terpapar mentari, yang matanya telah mulai keruh karena tua, yang cahayanya tak sebersinar dulu, yang kumis dan jengotnya pun tak tercukur rapi.

Ahh, Ayah… bahkan ketika menulis ini, kau sedang tertidur disampingku. Entah pulas atau tidak, karena ada sedikit kerut di wajahmu saat ini. Kalau aku, takkan pulas tidurku jika aku banyak pikiran. Apalagi dirimu yang –kuyakin- amat sangat banyak pikiran dan beban yang berkecamuk dalam benakmu saat ini. Setelah barusan kau membetulkan rantai Wendy yang kendor yang bunyi "kretek-kretek" tiap aku mengayuh pedalnya, kini paling tidak berganti nada menjadi "kriet-kriet". Lucu.

Di masa hidupku yang semakin berkurang ini-pun, baru dalam hitungan jari, hal yang rasanya membuatmu sedikit bangga padaku. Walaupun kau selalu bilang, “ Ini udah lebih dari cukup, mba”, sambil tersenyum bangga, ada sesuatu yang justru mengiris hati dan benakku saat itu. Bahwa: itu sangat belum cukup,Sekar.

Dan Ayah, entah mengapa selalu ada masalah remeh yang selalu bisa kujadikan engkau sebagai orang pertama yang kuyakin bisa menyelesaikannya. Kecanduan, ketergantungan. Mungkin. Tapi begitulah, saya memang selalu mengandalkanmu,Ayah. Meski kau bahkan belum mengucapkan selamat ulang tahun padaku, ketika aku menulis catatan ini, aku tahu, doa-doa yang teruntai dari-mu tidak hanya ada saat aku beruag tahun. Semoga umurmu diberkahi. Semoga diberi kemudahan dalam menjalani ujianNya. Semoga tabungan untuk membeli material untuk membangun istana di syurga makin penuh. Doa-doa itu selalu ada untuk kau, dan Ibu, sang wanita berhati putih salju lantunkan dalam setiap ba’da shalat kalian, untukku. Aku yakin ^^.

dan di kesunyian malam, aku mendengar bisik kalian, orangtua terhebat di dunia, di sela lelap kalian...
"Selamat Ulang Tahun, mba.."

Senin, 11 Oktober 2010

Senbazuru Orikata Part II




Saat itu saya sedang menanti  kereta Kutojaya di Stasiun Manggarai. Pulang kampung. Seorang diri ^^.



Seorang anak kecil kumal menghampiri saya, kutaksir umurnya baru sekitar 5 tahun. Berpakaian warna kuning usang, celana jins yang tak kalah kumal dan wajah kotor belepotan debu mungkin campur keringat dan ingus. Namun kuakui wajahnya cukup menggemaskan dibandingkan anak-anak jalanan lain yang biasanya bertampang nakal dari ‘sono’nya dan memasang wajah sok imut sok memelaskan waktu meminta-minta (subjektif saya aja ini,lho).
Ia menengadahkan tangan dan saya hanya tersenyum mengisyaratkan penolakan, saya lagi bner2 nggak punya uang lebih waktu itu. Ditambah kehati2anku buka2 dompet di stasiun Manggarai yang cukup ramai kala itu.
Anak itu belum pergi juga, ia lantas melirik tas hitamku yang diatasnya tergeletak 2 buah novel yang niatnya akan kubaca sambil menunggu kereta.

“ Bukunya boleh minta?”, katanya tiba-tiba, dengan gaya merajuk, dengan cara bicara cadel.
“ Eh? Buat apa?”, saya sedikit kaget.
“ Buat sekolah...”
“ Tapi ini bukunya udah ada tulisannya,De. Bukan buku tulis”
“ Tapi mau...”
“ Lho, emang kamu udah bisa baca?”. Ia menggeleng.
“ Makanya...bukunya buat sekolah...pengen sekolah..”.

Saya tersenyum, getir. Sedikit jengah juga sama pandangan orang2 di dekatku. Dikiranya ntar saya ngapa-ngapain anak ini. Tapi masa kukasihin bukunya ke dia? Selain sayang karena belum juga kubaca (astaghfirullah..egois  ya..bukunya sih lumayan murah, cz kubeli waktu diskon besar2n….) saya juga ragu anak itu bakal mempergunakan buku ini dengan baik. Ujung2nya kalo dia ngga bisa ngebacanya, jangan2 malah dibuang...

“ Kalo nasi, mau ga?”, saya dapat ide.
Dengan sedikit kecewa ia mengangguk. Kuberi ia nasi dan lauknya serta kue-kue, hampir separuh lebih bekal perjalananku. Tak apalah, ikhlas. Alhamdulillah perut ini sudah cukup terisi sarapan dan makan siang lezat buatan bude dan mba-ku. Insyaallah kuat sampai tujuan. Kalaupun nanti lapar di tengah malam, masih ada cukup uang untuk beli makanan.  Lalu ia pergi, sedikit berlari. Menghampiri seorang ibu2 kurus yang sedang menggendong balita. Kemungkinan besar itu ibunya.
Ini hanya satu elegi kecil dari jutaan cerita tentang anak jalanan. Hha, entah tepat atau tidak sebutan yang saya berikan padanya karena nyatanya ia meminta2 di stasiun, bukan di jalanan. Ironi bahwa anak sekecil itu sudah ingin sekolah. Mungkin sebagian besar dari kita akan menganggap itu cuma akal-akalan aja, biar dikasih duit. Mungkin. Tapi saya tidak. Mungkin iya anak tersebut dilatih cara2 bagaimana supaya orang kasihan padanya. Namun pasti di lubuk hatinya, anak tersebut juga pasti ingin sekolah, ingin mengecap ilmu, atau setidaknya ‘pikiran anak2’nya berpikir pasti bakalan punya banyak temen kalo pergi ke sekolah,..

Setidaknya, saya ingin terus mempercayainya.

Rabu, 06 Oktober 2010

Episode Patah Hati

Aku belum pernah patah hati. Bagaimana bisa patah hati? Pacaran saja aku belum pernah.
menurutku, hanya orang bodoh yang mau pacaran. Terus sakit hati. Mencari masalah sendiri...
Lihatlah mereka yang patah hati. Lupa akan dirinya sendiri. Mereka terlihat begitu menderita. Karena cinta? iiihh..
Kemarin sahabatku baru putus dari pacarnya, patah hati ia mengadu. Meraung-raung, histeris. Dimaki-makinya sang mantan pacar yang meninggalkan dia untuk perempuan lain. Air matanya sampai kering. Matanya bengkak.Wajahnya merah. Jelek. Ingin rasanya kubawa cermin, biar dia tahu betapa jelek wajahnya ketika sedang menangis seperti itu.
Sudah lebih dari sejam dia menangis dihadapanku. Aku tak tahan. Lalu kukatakan kepadanya.
" Kalau kamu nggak mau patah hati, ya jangan pacaran, dong!"
Sahabatku marah. Katanya aku tak setia kawan. Tidak berperasaan. Lalu dia meninggalkanku dengan wajah cemberut. Tak diajak bicaranya aku sampai hari ini.
Sebelumnya kakakku yang patah hati. Dia tidak menangis meraung-raung dihadapanku. Mungkin dihadapan sahabatnya. Tapi tingkahnya menyebalkan. Mengurung diri di kamar, tak mau makan, tak mau bicara. Seisi rumah dibuatnya bingung. Mungkin baginya patah hati adalah bencana besar yang harus dirasakan oleh setiap orang disekitarnya.
Ketika dia keluar kamar, yang dilakukannya pun hanya marah dan marah. Ini salah. Itu salah. Aku pun kena getahnya. Tak tahan, akhirnya aku berteriak juga.
" Kalau kakak nggak mau sakit hati, ya jangan pacaran dong! Bikin susah orang lain aja!"
Dan sebuah sandal melayang, mendarat tepat di kepalaku. Aku menggerutu, kesal. Makin bulat pendapatku, jangan pernah patah hati. Patah hati membuat orang sakit gila dan membahayakn orang-orang disekitarnya. Karena itu, hindari patah hati.
Daripada pusing memikirkan orang-orang yang patah hati, hari ini aku berjalan-jalan sendirian di mall, menuju toko buku favoritku. Gara-gara sahabatku masih marah, aku terpaksa kesana-kesini tanpa teman.
Lalu kulihat sosok yang sangat kukenal, berjalan tak jauh didepanku.
Ayah? Di mall? Jam kerja ? Lagi apa ya?
Eh...Ayah bersama seseorang. siapa ya? seorang wanita? Oh, rupanya itu sekretaris ayah di kantor. Mungkin mau beli keperluan kantor.
Terus, kenapa harus berdua?
Kuikuti mereka. mereka berdua masuk ke salah satu counter pakaian bermerek. Kakak pernah meminta ayah membelikan baju disana, dan ayah hanya mengomel. Kata ayah, kakak harus belajar berhemat. Lalu kenapa ayah sendiri masuk kesana?
Mereka keluar denganmembawa jinjingan bertuliskan merek tadi. Dua jinjingan tepatnya.
Perasaanku tak karuan. Hmm..mungkin ayah meminta tolong sekretaris-nya membeli hadiah untuk ibu? Oh iya, ibu kan ulang tahun sebentar lagi. Pasti tiu sebabnya. Aku tersenyum.
Tapi langkahku tetap tak berhenti mengikuti mereka. Kali ini menuju salah satu restoran mahal. Terpaksa kutunggu di luar.
Setelah sekian lama, mereka keluar dengan tertawa bahagia. Eh, kenapa mereka bergandengan seperti itu? ayah terlihat berbeda. Begitu bersemangat. ayah mengacak-acak rambut perempuan itu dan...si perempuan ittu mencium pipi ayah!
Astaga! Ayah pun membalasnya!
Langkahku terhenti...
Ayah...
Aku menangis dan terus menangis. Aku meraung. Kurasakan kehilangan yang sangat.
Aku marah. Aku ingin mengutuk dunia!
Aduh...kenapa aku jadi seperti sahabatku? Kenapa aku jadi seperti kakakku?
Rasanya hatiku patah...Bukan,bukan sekedar patah.
Hatiku hancur berkeping-keping...







---^^ ini diambil dari buku kumpulan cerpen yang kallo ga salah judulnya: "Biarkan Aku Mencintaimu Dalam Diam"---

Senin, 04 Oktober 2010

untitled

sejak awal saya sudah tahu kalau dirinya memang sangat lebih daripada saya, dari segi manapun,
tapi entah kenapa baru sekarang saya menyadari bahwa dirinya 'amat-sangat' berbeda jauh dari saya,
kami begitu jauhnya seakan ia sudah menemukan planet pengganti Pluto namun saya baru saja memasuki roket, baru ingin beranjak dari Bumi menuju Bulan,
kami begitu berbedanya seakan ia adalah kupu-kupu Troides minos yang telah mengepakkan sayap hingga ujung pelangi,sedangkan saya adalah larva ngengat Antheraea polyphormus yang baru saja menggeliat keluar dari cangkang telur yang rapuh

see? kamu begitu 'tidak memiliki persamaan',

saya tahu bahwa sama bukan berarti cocok, dekat bukan berarti bisa saling memiliki,
saya mengerti bahwa perbedaanlah yang justru akan membuat kita saling melengkapi
hanya saja, dibutuhkan sesuatu yang bisa setidaknya membuat perbedaan tak membuat jurang pemisah diantara kami, dibutuhkan persamaan yang setidaknya membuat kita saling mengerti, tak merasa terasing dengan dunia sendiri-sendiri,
dan saya merasa...kami tidak memilikinya...
atau mungkin, ini bukanlah masalah antara sama atau beda, dekat atau jauh..
ini adalah masalah hati saya sendiri, tentang konflik yang sering terjadi di dalam diri saya sendiri, tentang rasa rendah diri, tentang pesimistik,
aah, mulut saya terkunci, pikiran saya buntu jika sudah menyangkut masalah internal diri saya, karena saya-pun belum bisa mengendalikan segala ego dan emosi yang meledak-ledak, meluap, membuncah ingin terbang, melesat ke penjuru arah, yang mungkin akan menggores, dan menyakiti diri orang lain.
saya terlalu takut untuk memulai, terlalu takut untuk mendapati dirinya kelak menjauh dari saya karena 'saya' yang dihadapannya, tak sesuai dengan 'saya' yang ada dalam bayangannya
yang jelas terasa hanyalah, saya memiliki perasaan berbeda terhadapnya, perasaan bahwa ia bisa melindungi hati, rasa yang mungkin sama diantara kami dan diri saya sendiri,
namun entah,
saya benar-benar tidak tahu,
apakah hatinya terpaut pula pada hatiku,

Kamis, 23 September 2010

kau hempasan debu
kau percikan hujan
kau semilir angin
kupikir, tanpamu tak apa
tanpamu baik-baik saja
tanpamu semua biasa
namun, ada yang hilang dalam siang yang terik
pada deras hujan yang mengguyur
pada angin, pada pagi
kau

Rabu, 22 September 2010

Saat cinta datang dengan hormat mengetuk pintu hati,
Maka bukalah pintu hati lebar-lebar
Biarkan cinta membuat jendela-jendela
Agar sepi membelai buai menyejukan tiap lekuk relung hati
Saat cinta datang mencongkel jendela tanpa setahu penjaga hati
Jangan usik dia, karena dia akan mengganti jendela itu
Dengan jendela baru yang lebih indah mempesona
Rasakan saja hadirnya agar dia bebas
Mengukir dinding-dinding hati

Selasa, 21 September 2010

Senbazuru Orikata


Akhir Mei 2010. Saya lupa tepatnya tanggal berapa, yang saya ingat waktu itu hari Jumat ^^.
Ini kali pertama kami pergi ke Pasar Tanah Abang. Saya, Mba Nining dan Mba Tari. Kami pikir naik KRL ekonomi biasa satu kali udah beres. Emang bener sih bisa langsung naik kereta yang jurusannya Tanah Abang. Emang bener juga bisa langsung naik kereta ekonomi biasa. Yang ngga kami tahu ialah, ternyata kereta khusus ini nggak kaya kereta ekonomi biasa jurusan Kota yang ada di hampir setiap jam bahkan mungkin setiap menit. Ternyata kereta jurusan Tanah Abang cuma ada di jam-jam tertentu, jam 8 dan 9 pagi sama jam 12 siang.  Jadilah kami yang leha-leha berangkat ke stasiun UI jam 1 siang harus rela dioper dulu di Stasiun Manggarai baru naik kereta AC ekonomi ke Tanah Abang. Yah,nambah biaya...(-_-).
Sampai di stasiun Manggarai-pun kami ngga bisa langsung naik kereta ekonomi AC jurusan Tanah Abang itu. Kami harus nunggu hampir 1,5 jam karena keretanya baru sampe di Stasiun Manggarai sekitar jam setengah 3 sore. Hha, kami-pun mlongo di stasiun, bengong ngeliatin orang-orang dan kereta yang seliweran ngga habis-habis berhubung saya lupa bawa buku bacaan yang biasanya selalu terselip di tas saya.
Setengah jam menunggu, saya sudah bosan. Ngobrol ngalor-ngidul udah tutup kasus. Otak-otak stasiun dalam plastik di tangan sudah tandas. Dan stasiun mulai sepi, objek pengamatan udah berkurang. Tiba-tiba saya teringat ada satu benda lagi yang biasanya selalu ada dalam tas. Kertas. Kertas apapun. Sobekan Koran atau yang masih utuh yang saya beli di penjual Koran cilik yang banyak seliweran di bikun. Isi binder yang tercecer. Selebaran warna-warni yang biasanya ditempel di tiang-tiang listrik, yang dibagiin mas-mas di gerbang atau pintu masuk, atau yang ditaruh sembarangan begitu saja di halte-halte bikun. Hobi yang aneh memang, tapi cukup menyenangkan. Daripada kertas2 itu terbuang begitu saja, bikin kotor tanah, bikin rusak pemandangan, lebih baik saya manfaatkan. Yang bagian belakangnya masih polos ngga ada tulisannya, biasanya saya manfaatin jadi kertas coret-coretan. Kalo yang udah penuh tulisan, saya manfaatin jadi…kertas origami!! ^^. Itung-itung mempertajam keahlian semasa TK, walaupun yang biasa saya bikin ya itu-itu aja. Pesawat terbang, kapal laut, topi suster, orang2n sawah, katak (kalo saya belum lupa caranya) dan senbazuru (bangau kertas).
Saya masih ingat kertas apa yang saya gunakan waktu itu. Leaflet dari FPM (Forum Pergerakan Mahasiswa) tentang seminar UU BHP yang dimoderatori Kak Maman, ketua BEM FT, warna putih, kuning dan hijau (yang warna warni itu kertasnya ya, bukan kak Maman-nya,ahaha). Tangan saya langsung sibuk melipat dan  menyobek, dua kawan saya, Mba Nining dan Mba Tari ikut-ikutan. Setelah jadi, iseng-iseng saya lempar keatas, niatnya diterbangin, siapa tau terjadi keajaiban bangau kertas yang saya buat jadi Burung Gereja beneran,haha.

Ternyata memang imajinasi saya saja yang berlebihan, alih-alih senbazu saya tiba-tiba bersinar lalu berubah jadi burung sungguhan, saya malah dicubiti Mba Tari dan Mba Nining karena senbazuru-senbazuru saya yang tercecer malah makin mengotori lantai stasiun yang memang sudah kotor. Ahaha. Saya juga jadi nggak enak hati, karena saya juga dipandangi sama orang-orang di stasiun, mungkin mereka pikir saya ini kurang kerjaan. Dan sialnya memang iya. =P

Tiba-tiba seorang anak laki-laki kecil berpakaian kumal warna abu-abu pekat (saya tebak warna aslinya bukan hitam, mungkin warna-warna cerah seperti merah atau hijau, tak terdefinisi deh saking sudah kumalnya), sobek sana-sini, botak, muka kotor terbakar matahari, dan tampangnya (subjektif nih) kaya anak nakal pada umumnya (ahaha, saya sendiri tidak bisa mendefinisikan seperti apa tampang anak nakal itu..) memungut senbazuru itu.
“ Eh, siapa yang bikin nih?”, dia berkata.
Suaranya itu juga suara khas anak jalanan. Kasar dan sedikit serak. Huft, kadang2 pikiranku emang dangkal. Judge the book from its cover. Astaghfirullah…
Eh,tau-tau Mba Nining nyeletuk, “ Dia nih!”, sambil nunjuk2 aku. Oh no… Aku cuma nyengir. Anak itu ternyata bawa temen. Laki-laki juga, gondrong dengan potongan rambut acak-acakan, seperti dipangkas asal-asalan pake gunting. Pakaian tak kalah kumal bercelana jeans sobek-sobek. Tapi wajahnya lebih bersahabat daripada si anak pertama. Hhe
“ Waah, asik. Bikinnya gimana nih?”, anak botak tadi lagi yang ngomong.
“ Minta ajarin sama mba yang ini aja.”, Mba Nining lagi yang ngomong. Masih sambil nunjuk2 saya.
Tiba-tiba…jeng jeeeng! Jiwa sosial saya muncul =D. Asik ada kerjaan. Lalu saya mulai mengeluarkan amunisi. Setumpuk. Mba Nining dan Mba Tari aja sampe agak melotot, ngga mengira saya bawa kertas sebanyak itu.  Saya memang ngambilnya langsung setumpukan, di halte FT, hhi, nakal ya.
“ Ayo ayo, kenalan dulu”
Dari sini saya jadi tahu anak botak itu namanya Nanang dan yang gondrong namanya Rudi.
Mulai beraksi!!
Rudi & Nanang

“ Jadi dilipet dulu, kayak gini, ini kan kertasnya bentuknya persegi panjang, dibikin jadi segi empat dulu, dilipet segitiga, trus sisanya disobek aja…bla bla”, se-alon mungkin saya njelasin dan praktekin, soalnya saya ngerti sih, lumayan susah awalnya, apalagi buat mereka yang belum pernah bikin. Tapi kayaknya sih mereka masih tetep aja kewalahan. Kelihatan dari raut muka mereka. Saya tertawa lalu dengan lebih perlahan ngajarinnya. Nanang masih tetep kewalahan, akhirnya saya ajarin dari tangan ke tangan. Haha, kaya lagi ngapain aja ya. Saya pegang tangannya yang kotor, kuku-kukunya yang hitam. Agak gimana gitu awalnya, tapi nggak apalaaah. Belajar jangan takut kotor ^^ (kayak iklan deterjen). Lagian saya bawa hand-sanitizer kok ^^. Rudi ternyata lebih cepet nangkep dibanding Nanang. 

“ Yiieee…jadi!”, seru Rudi, bikin Nanang sedikit cemberut. Hahaha, dasar anak kecil. Akhirnya senbazuru Nanang jadi juga. Biarpun hasilnya agak nggak karuan, mencong sana, penyok sini, dan agak kotor. Tapi saya bisa melihat senyum kepuasan dari binar matanya. Cring cring cring! Bahagia rasanya, lihat muka polos (tapi tetep aja punya tampang nakal,hhi ) khas anak-anak mereka. Kami menghibur Nanang yang senbazuru-nya ngga serapi milik Rudi.
“ Kalo sering bikin ntar juga lama-lama bisa bagus kok”. Lalu saya mengeluarkan kertas lebih banyak lagi. Setelah bosan bikin burung-burungan, kami bikin orang-orangan sawah. Caranya lebih gampang, tapi tetep aja si Rudi yang berhasil bikin duluan. Dan lebih rapi. Orang-orangan punya Nanang bajunya sobek dan bibirnya miring.
“ Haha, dasar si Botak”, canda saya. Yang merasa kepalanya botak hanya cengengesan.
Sambil melipat-lipat kertas, kami ngobrol. Tentang kehidupan mereka.
“ Harusnya saya udah masuk SMP kak, tapi nggak ada duit, hhe”, kata Rudi. Ia putus sekolah waktu kelas 5 SD. Nanang juga nggak jauh berbeda. Ia putus sekolah waktu kelas 4 SD.
“ Biasanya kita disini minta-minta, kalo nggak nyemirin sepatu, nyapu-nyapu gerbong, yang penting bisa makan,” jawab Rudi waktu kami tanya ngapain aja mereka di stasiun.
Saya menghela nafas, menatapi mereka yang sedang serius bikin origami. Dari atas sampai bawah.
Mereka sebenarnya cerdas. Anak-anak yang sedang haus-hausnya mengais pengetahuan, menggali ilmu. Terlihat dari betapa mereka penasarannya dengan hal seremeh bikin burung-burungan dari kertas bekas seperti ini. Dari betapa Rudi yang cepat nangkep informasi (insyaAllah kalo dia dikasih kesempatan lagi buat sekolah, dia pasti dapet rangking terus, yaah meskipun sebenernya ukuran kecerdasan bukan semata dilihat dari rangkingnya).  Dari betapa gigihnya Nanang yang walaupun origami buatannya nggak pernah beres, tapi terus mencoba, sampai dia bisa (insyaAllah kalo dia dikasih kesempatan lagi buat sekolah, dia pasti sukses jadi pemain bola, hha, maksud saya sukses di pelajaran, karena kegigihannya). Dari antusiasnya mereka belajar.
Mereka juga sebenarnya baik. Saya tahu dari bagaimana mereka terlihat sangat berterimakasih karena sudah diajarin bikin origami. Saya tahu dari polosnya mereka menjawab segala pertanyaan2 yang kami lontarkan.
Saya ingin bertanya lebih jauh, tentang gimana keluarga mereka, tentang gimana perasaan mereka yang harus terpaksa mencari uang sendiri, menghadapi bahaya di jalanan dan stasiun yang mengancam setiap detik hidup mereka, tentang…pengen nggak sih mereka sekolah lagi. Haha, mungkin pertanyaan terakhir adalah pertanyaan retoris. Jawabannya sudah pasti pengen. Banyak banget pertanyaan yang berkecamuk dalam benak saya. Seringkali saya menghela nafas, melihat betapa kehidupan stasiun telah membentuk karakter keras dan kasar mereka. Sebenernya mereka anak-anak manis. Terutama Rudi. Aaaahhh..dia ituu sebenernya cakeeep, coba aja bersih trus rambutnya rapi dikit, mau deh saya jadi kakaknya. Tapi dengan keadaannya yang sekarang, nggak apa-apa juga saya dianggap kakak,kok. Hha.
Ya. Anak-anak manis. Kehidupan yang memaksa mereka jadi begini. 

Tapi pertanyaan-pertanyaan itu belum sempat keluar dari mulut saya, hanya tersimpan dalam benak saya. Alasannya, ada orang yang pernah bilang, anak-anak jalanan terkadang sensitif dengan keadaan mereka. Kadangkala mereka memiliki trauma tersediri yang salah-salah jika terusik, bisa membuat mereka jadi tiba-tiba bertindak kasar. Tapi sepertinya hal ini juga berlaku buat anak jalanan maupun anak rumahan. Anak-anak punya emosi labil yang kalo terganggu sedikit, bisa mengubah mereka dari malaikat mungil yang manis dan lucu jadi “little monster”. Hha, tapi sepertinya perumpamaan yang saya buat sedikit berlebihan.>.<
Alasan lainnya, speaker stasiun sudah berkoar-koar  menginfokan bahwa kereta ekonomi AC jurusan Tanah Abang dari arah Selatan akan memasuki jalur 2 stasiun Manggarai. Harga tiket Rp 5500 (haha,kalo yang ini sih ngga disebutin). Kami bangkit menuju jalur 2, mereka mengantar. Melompat-lompat dari rel satu ke rel yang lain. Ikut masuk ke gerbong, keluar, masuk lagi, keluar lagi karena tau-tau ada petugas dateng. Mereka melambai-lambai sampai pintu gerbong akhirnya tertutup. Sampai kereta akhirnya melaju.
Satu lagi peristiwa kecil yang Allah berikan untuk menyadarkan kami akan betapa beruntungnya hidup kami. Kami yang berasal dari desa tapi telah diberi kesempatan begitu besar untuk menimba ilmu di universitas yang memakai nama Negara ini. Apalagi saya yang berasal dari kecamatan yang terkadang namanya hanya tercantum dipeta-peta mudik karena menjadi salah satu jalur mudik yang  padat dan sering macet sampai-sampai di pintu keretanya dipasangi CCTV (=P). Beruntung karena masih mengecap bagaimana serunya masa SD tanpa harus susah payah berpikir darimana uang buat beli pensil, penghapus, sepatu dan seragam yang kami pakai. Bersyukur karena saya masih bisa menikmati romansa cinta pertama kala SMP[ (*^.^*) uuuu…] tanpa harus dihantui masalah akan makan apa esok..
Kami beruntung dan mereka kurang beruntung. Sudah seharusnya kami yang lebih memiliki berbagi kepada mereka yang masih kekurangan. Agak menyesal saya, karena tidak bisa melakukan lebih dari hanya mengajari mereka melipat-lipat dan menyobek-nyobek kertas. 
Saya tidak berharap pada dongeng Senbazuru Orikata yang konon keinginan kita akan tercapai jika bisa membuat origami bangau kertas sebanyak seribu buah. Saya realistis, logis dan cukup agamis =). Saya dan teman-teman hanya bisa berdoa semoga suatu saat mereka diberi kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik. Semoga mereka selalu dijaga olehNya,cause Allah is the best keeper,ever. Karena Ia adalah penjaga sebaik-baiknya penjaga. Karena Ia maha adil dan maha mencukupi.
Dan semoga, lain kali kami diberi kesempatan lagi untuk bertemu mereka. Di keadaan yang lebih baik. Untuk mengajari mereka membuat katak dari kertas ^^. 
Ya,semoga..

Selasa, 31 Agustus 2010

Say Hi !

Huft, lagi-lagi saya bikin blog baru. Ahaha, saya memang memiliki masalah dengan ingatan. Bahkan untuk menghafalkan nomer HP sendiri-pun saya membutuhkan waktu sekitar sebulanan lebih.
Apalagi buat mengingat password blog yang notabene udah nggak saya postingin semenjak menginjak bangku kuliah. Ha-ha-ha ( menertawakan-kebodohan-sendiri-mode:on ).
Maka dari itulah saya membuat blog yang baru, yang  insyaAllah isinya dapat lebih dipertanggungjawabkan karena ngga sekedar tulisan yang kopas dari blog oranglain tanpa saya cantumkan dimana saya mengutipnya ( atau bahkan all version--dosen aljabar linear saya bilang buat mereka yang nyontek plek-jiplek kerjaan temennya--hha). kerinduan saya akan tulis-menulis, curhat kesana-kemari pula-lah yang mendorong saya untuk bikin blog baru lagi.
Well, semoga tulisan-tulisan saya nantinya bisa memberikan inspirasi hidup bagi kalian semua, tentang betapa indah, menyenangkan, tragis, dan sebentar-nya hidup ini (-_-'').
So, follow my blog, then we can share about the world!
seeya!