Minggu, 12 Desember 2010

Lima sampai Enam Desember 2010

5 Desember 2010

Ketika itu malam menyambut selepas maghrib. Dan dibawah rintik deras hujan kita berboncengan berdua. Naik Wendy, sepeda kesayanganku. Kau di sadel agak terseok-seok membawa bebanku yang lumayanlaaaah di boncengan. Aku memayungimu dengan payung kotak-kotak biru tua yang baru saja kubeli beberapa hari yang lalu dan di saat itulah aku memakainya untuk yang pertamakali. Kita berboncengan, dengan rute St.Pocin-Kutek Belakang yang trek-nya…cukup membuatku ngos-ngosan meski cuma aku sendirian yang bertengger di atas Wendy, tanpa ada yang membonceng. Maka bisa kubayangkan bagaimana penderitaan yang kau rasakan saat kau memboncengiku ketika itu.

Kutawarkan untuk aku turun saja saat tanjakan, atau lebih baik aku berjalan sendirian saja dengan aku membawa payung dan kau bersepeda ngebut sampai pondok MAB. Cukup adil menurutku. Tapi kau menolak, “ Ga pa-pa,mba..”, kau berkata. Aku tahu kau laki-laki yang kuat, tapi di usiamu yang saat ini…aku tak yakin sisa kekuatanmu yang sekarang sama dengan dahulu. Aku mengalah, terenyuh.

Lalu kukatakan bahwa peristiwa ini mengingatkanku saat masa-masa SMP-ku dulu. Ketika hujan lebat menyiksa alam pagi di Karanganyar, kau telah siap dengan jas hujan kuning-mu, jas hujan saat dulu kau mengais nafkah sebagai pegawai rendah di satu perusahaan di Cikarang. Dan kau tertawa, tawa yang renyah, aku rasa kau juga sedang mengenang masa-masa itu. Masa saat aku versi SMP yang tetap ngeyel mau bersepeda sendiri, berbekal payung ungu yang bisa berganti corak bila terkena air, meski hujan badai menerjang. Kau dan wanita lembut berhati seputih salju itu tetap memintaku yang keras kepala untuk diantar olehmu saja. Permintaan yang lama-lama memaksa. Tegas. Aku merajuk, melipat dada saat kau telah bersiap memakai jubah kuning kebesaranmu (baca: jas hujan) dan telah duduk diatas sadel. Siap meluncur menembus lebatnya hujan. Masih mengerutkan dahi, menekuk muka, aku nangkring diatas boncengan besi sepeda tuamu yang keras. Dibelakang wanita lembut itu, berdiri anak yang umurnya lebih muda tiga tahun dariku, meleletkan lidah padaku,” Dasar sok kuat, mending ngga terbang ditiup angin kau!”, begitu mungkin pikirnya. Menanti giliran diantar..

Segera setelah aku berada di boncengan kau memasang perlindungan, membungkusku rapat-rapat dengan jas hujan bagian belakangmu. “ Pegang yang kenceng ya,mba”, pesanmu. Terlanjur badmood di pagi hari, aku asal-asalan pegangan. Barulah ketika sepeda melintasi jalanan, kurasakan dinginnya air di genangan jalan yang menyiprati pinggir rok abu-abuku yang mulai kusut dan sepatu hitamku yang mulai pudar warnanya, kudengar ritme tetesan air hujan yang menimpa jas hujan yang menutupi tubuhku, suaranya terdengar tepat menetes di telingaku, juga suara-suara kendaraan lain yang terburu-buru lewat sehingga acuh saja ketika gilasan roda mereka yang menerjang genangan air menyebabkan cipratan hebat air cokelat yang untung saja tak mengenai kita tapi cukup membuat kau bergumam tak jelas saat itu. Mungkin karena cipratan tadi membuatmu tak konsen di jalan. Tak kudengar jelas gumamanmu karena saat itu aku sedang terpana dengan melodi tik-tik hujan diatas atap jas hujanku, lalu menghirup aroma tanah membasah (yang baru akhir-akhir ini kuketahui namanya petrichor) yang tercampur aroma potongan batang padi di hamparan sawah yang sedang kita lalui ini. Aroma dan melodi itu meluruhkan ngambek-ku. Tahukah kau? Menyenangkan sekali merasakannya, meluruhkan badmoodku seketika. Lalu tiba-tiba aku menyesal. Alasanku ngambek tadi amat sangat kekanakan, Cuma karena ingin dianggap kuat, hebat karena mampu sendirian menerjang deras hujan. Hha, aku memang keras kepala dan sok kuat.. Kulanjutkan menikmati aroma dan suara hujan. Tentram.. Perlahan…kudekap erat punggung bidangmu. Rasanya tak ingin sampai ke sekolah…

Tahukah kau, wahai Ayah tercinta? Saat itulah cinta pertamaku berbenih. Pada hujan. Saat itulah pula kurasakan cintaku yang selama ini tersembunyi malu-malu, menggeliat muncul, dan berkali lipat bertambah… Padamu. Pun cinta yang telah sejak saat ruh-ku ditiupkan, yang melekat erat di sluruh butir sel, bahkan untaian atom-atom dalam tubuhku, menyeruak keluar, membuncah. PadaNya. Illahi Robi.. Pencipta hujan dan segala keajaiban semesta…
Maaf karena di usiaku yang semakin tua ini, justru aku belum bisa semakin dewasa. Untuk hal seremeh mbetulin HP atau ngencengin keranjang sepeda-pun aku masih harus meminta bantuanmu… Kau rela memboncengku dari St.Pocin sampai Kutek demi aku. Demi aku.

6 Desember 2010

Kulitmu yang menghitam, keriput dimakan usia, diterpa cuaca. Rambutmu yang putih abu-abu kusam, yang tak tertata rapi, yang dulu saat ku kecil sering kau minta aku untuk mencabuti uban-uban yang menyelinap tumbuh disela-sela rambut tebalmu. Tanganmu yang besar kasar, namun lembut dan penuh kasih sayang bukan main. Wajahmu yang juga  kecoklatan saking terlalu sering terpapar mentari, yang matanya telah mulai keruh karena tua, yang cahayanya tak sebersinar dulu, yang kumis dan jengotnya pun tak tercukur rapi.

Ahh, Ayah… bahkan ketika menulis ini, kau sedang tertidur disampingku. Entah pulas atau tidak, karena ada sedikit kerut di wajahmu saat ini. Kalau aku, takkan pulas tidurku jika aku banyak pikiran. Apalagi dirimu yang –kuyakin- amat sangat banyak pikiran dan beban yang berkecamuk dalam benakmu saat ini. Setelah barusan kau membetulkan rantai Wendy yang kendor yang bunyi "kretek-kretek" tiap aku mengayuh pedalnya, kini paling tidak berganti nada menjadi "kriet-kriet". Lucu.

Di masa hidupku yang semakin berkurang ini-pun, baru dalam hitungan jari, hal yang rasanya membuatmu sedikit bangga padaku. Walaupun kau selalu bilang, “ Ini udah lebih dari cukup, mba”, sambil tersenyum bangga, ada sesuatu yang justru mengiris hati dan benakku saat itu. Bahwa: itu sangat belum cukup,Sekar.

Dan Ayah, entah mengapa selalu ada masalah remeh yang selalu bisa kujadikan engkau sebagai orang pertama yang kuyakin bisa menyelesaikannya. Kecanduan, ketergantungan. Mungkin. Tapi begitulah, saya memang selalu mengandalkanmu,Ayah. Meski kau bahkan belum mengucapkan selamat ulang tahun padaku, ketika aku menulis catatan ini, aku tahu, doa-doa yang teruntai dari-mu tidak hanya ada saat aku beruag tahun. Semoga umurmu diberkahi. Semoga diberi kemudahan dalam menjalani ujianNya. Semoga tabungan untuk membeli material untuk membangun istana di syurga makin penuh. Doa-doa itu selalu ada untuk kau, dan Ibu, sang wanita berhati putih salju lantunkan dalam setiap ba’da shalat kalian, untukku. Aku yakin ^^.

dan di kesunyian malam, aku mendengar bisik kalian, orangtua terhebat di dunia, di sela lelap kalian...
"Selamat Ulang Tahun, mba.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar